Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimikri (Nde Cerpen)

21 April 2011   08:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Habis?" tanya Sagrip sambil tertawa mengejek melihatku climusan saat dia meraup semua sisa uangku yang terakhir.

"Masih," jawabku tergagap, "di rumah."

Semua tertawa. Seorang penjudi yang kalah tidak akan mengatakan uangnya masih di rumah, tapi dengan gagah akan menyamarkannya dengan janji besok akan kembali lagi membawa yang lebih dari hari ini.

"Di rumah? Rumahmu atau rumah ibumu? Jangan-jangan uang ibumu nanti kau ambil," kata Sagrip.

"Tidak," sambarku cepat, "aku masih punya uang. Tadi kupikir akan menang, jadi aku hanya membawa modal yang sedikit. Tunggulah, aku akan mengambilnya segera."

Tergesa-gesa aku merangkak terbata-bata ke sandal jepitku dengan masih diikuti tawa-tawa mereka.

Malam ini aku harus mendapatkan kembali semua uangku yang kupertaruhkan, bagaimanapun caranya karena sudah kepalang. Apalagi dengan wanti-wanti istriku bahwa jika malam ini aku tidak membawa hasil yang memuaskannya, jangan harap mendapatkan sekedar senyum saja darinya.

Terus terang saja, sudah semua kupertaruhkan malam ini sampai ke pecahan yang sekecil-kecilnya, tapi ternyata perhitunganku meleset. Untuk menang sebenarnya biasanya sangat mudah, karena semakin malam Sagrip dan teman-tamannya yang lain itu justru akan semakin mabuk dan kurang beruntung. Malam ini lain, ternyata. Aku kalah dan akibatnya, kini aku harus kebingungan mendapatkan modal untuk memulai misiku itu.

Sungguh najis, pikirku sambil berjalan sendirian menembus malam yang setengah gulita dengan langkah-langkah sempoyongan. Aku telah mulai mabuk dan sepertinya mereka memang mengincar kekalahanku malam ini. Sagrip dan dua temannya yang lain itu sangat kompak mengeroyokku dan bersekongkol, aku yakin itu. Bagaimana bisa dia selalu menang sementara dua temannya itu sama sekali tidak kelihatan frustrasi seperti halnya aku? Pastilah hasil kemenangan ini nantinya akan mereka bagi-bagi, pikirku geram.

Seekor anjing melintas memotong jalanku, aku berhenti.

Enak betul jadi anjing, pikirku. Tidak suka duit, tidak butuh nafkah, bebas kawin di sana-sini dan tidak punya istri tetap yang suka mengomel. Tidur kapanpun mau, jika marah tinggal menyalak atau menggigit. Halah, memang betul enak. Jangkrik betul!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun