Malam ketujuh. Kami masih selengkap kemarin: aku, Markuat, Watim, Gopar, Senen dan si tua berbadan kecil itu, Mat Wiji. Orang tua itu jangan ditanya, dia sudah sejak malam pertama berada di sini sementara beberapa dari kami, para pemuda kampung dibagi menjadi tiga kelompok besar untuk bergantian menjagai makam sialan itu. Sialan kataku karena yang ditanam di sana justru bukan orang baik-baik.
"Sagrip itu," kata seseorang yang pernah kudengar,"bisa kaya raya karena punya pesugihan. Lihat saja, kerjaannya tidak jelas juntrungannya, tiap malam hanya cari kesenangan joget sama lengger dari kampung satu ke kampung lainnya, menghambur-hamburkan uang seenak udel, judi, mabuk-mabukan, tapi tetep saja uang di tangannya tidak pernah habis. Dia memang punya buto ijo."
"Selain menumbalkan manusia, kelak jika waktunya sampai, diapun akan mati dicekik piaraannya itu."
Sudah sering orang-orang bercerita begitu hingga ketika kemudian Sagrip itu tujuh hari yang lalu ditemukan mati di kamarnya selepas semalaman berhura-hura hingga pagi, cerita itu seolah-olah menemukan pembenaran. Aku memilih untuk percaya saja, toh kejanggalan dalam hidup bahkan kematian orang itu memang jelas sekali. Apalagi dengan embel-embel hari kematiannya itu tepat di jumat kliwon dan weton almarhum itu pun ternyata sama dengan pasaran kematiannya pula. Jumat kliwon.
Bukankah mayatnya merupakan sasaran yang baik buat para pencuri mayat? Para pencari pesugihan dan penganut ngelmu hitam seperti punya telik sandi jempolan yang akan mengabarkan kematian-kematian seperti itu. Celakalah makam orang yang mati pada jumat kliwon, tubuhnya bisa lenyap setelah lebih dulu makamnya dibongkar paksa. Jadilah kami harus berjaga tujuh hari penuh di makam sialan ini atas permintaan keluarga si Sagrip yang sudah jadi mayat itu.
"Baru lepas isya' tapi aku sudah merkinding," kudengar suara Watim, pemuda sebayaku yang berbadan paling besar tapi nyalinya seukuran jambu pentil.
Wajahnya kurang bisa kulihat jelas karena lampu teplok hanya satu dan itupun digantungkan di kayu nisan. Setelah pandanganku mengedar aku baru sadar, ternyata memang kami tidak bisa saling melihat dengan jelas.
"Gara-gara Mat Wiji kiye, " kudengar satu suara lagi, Gopar, pemuda yang paling tua di antara kami bergerak-gerak dari duduknya yang paling dekat dengan tempatku duduk.
"Kenangapa?" tanyaku.
"Lampu teplok yang dinyalakan cuma satu. Bahaya tadi katanya. Justru kalau bahaya bukan lebih bagus kalau lampu teplok dinyalakan semua?"