Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rumah di Dekat Musala

3 Agustus 2012   07:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_204380" align="aligncenter" width="420" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Rumah di Dekat Musala oleh: AK Basuki

Bukan musalanya, tapi sepikernya...

Sebuah musala telah selesai dibangun persis di dekat rumah Dana. Tidak terlalu besar, tetapi karena mungkin orang-orang masih dalam euforia, musala baru itu tidak pernah sepi kegiatan. Minimal tiap masuk waktu salat yang lima waktu, selalu meriah. Berbeda sekali dengan yang pernah disaksikan Dana di tempat asalnya. Musala hampir di setiap RT ada, belum dihitung dengan mesjid desa, tapi kok ya sepi umatnya. Azan jadi hanya seperti pengingat waktu salat saja, kalau tidak bisa dibilang jadi semacam menyerupai lonceng jam yang berbunyi tergantung setelan waktunya. Itupun kalau muazin yang bertugas tidak sedang ada kesibukan lain atau orang yang biasanya memiliki kesadaran untuk mengumandangkan azan tepat pada waktunya tidak sedang berhalangan. Berbeda sekali dengan musala di dekat rumahnya ini, pokoknya. Azan selalu berkumandang jika masuk waktu salat, muazin dadakan jumlahnya berjibun, sampai bisa adu cepat berebut saling mendahului. Bahkan saking bernapsunya untuk jadi muazin, sering ada yang mengumandangkan azan sebelum waktunya karena takut keduluan yang lain.

Mungkin semua karena itu tadi, euforia. Sesuatu yang baru pastinya akan lebih memberi daya tarik. Yang seperti itu biasanya tidak akan bertahan lama. Dana berani bertaruh, beberapa waktu kemudian, orang-orang akan bosan dan musala itu tidak akan terus ramai seperti sekarang. Tapi tentu saja dia tidak mengharapkan taruhannya menang.

Dana dan Mardiyah, istrinya, termasuk orang-orang yang sesekali melangkah ke musala jika azan dikumandangkan, terutama saat magrib dan isya. Waktu di mana mereka pasti ada di rumah, tapi tidak dengan ayah mertua Dana. Dari awal mulainya pembangunan musala itu, dia sudah nyinyir dengan debu, kotoran dan suara ribut alat-alat pertukangan. Apalagi sekarang, dia selalu merasa terganggu dengan suara azan, suara pengajian, ributnya anak-anak TPA atau mobil dan motor jamaah yang parkir di jalan dekat rumah. Selalu ada saja dari musala itu yang membuatnya marah-marah tidak jelas.

Sama sekali dia tidak pernah mau salat di musala itu. Dia lebih memilih untuk salat di kamarnya atau jika terpaksa harus berjamaah seperti jumatan, dia akan berjalan ke mesjid desa yang letaknya cukup jauh. Dibilang sentimen pribadi, mungkin betul. Atau mungkin juga itu adalah protes tersendiri dari dia.

Orang tua berumur hampir tujuh puluh itu memang tinggal bersama Dana dan Mardiyah. Sebagai anak bungsu di keluarganya, Mardiyah memang tidak bisa tidak, seperti selalu di”ganduli” ayahnya. Mending kalau tidak merepotkan. Ayah Mardiyah ini, sudah pikun, galak, maunya menang sendiri dan keras kepalanya amit-amit. Dana hanya bisa mengelus dada jika ayah mertuanya itu berbuat yang aneh-aneh. Seperti suatu ketika, dia memergoki orang tua itu sedang berkacak pinggang di depan musala, berteriak-teriak kepada ibu-ibu kelompok pengajian yang sedang menunggu ustaz datang sembari mengumandangkan Salawat Burdah lewat corong musala.

“Kalau mau karaokean jangan pake sepiker! Bikin telinga sakit!” begitu kurang lebih kata-kata provokasi yang dilontarkan ayah mertua Dana untuk memulai konfrontasi. Namanya ibu-ibu, kebanyakan memang hobi perang mulut, apalagi sedang berkumpul, jadilah pertengkaran yang memeriahkan sore hari itu. Ayah mertua Dana dengan kata-katanya yang bagaikan rudal mematikan melawan berondongan peluru kata-kata ibu-ibu pengajian.

“Memang kenapa? Masalah buat elowh?” tantang ibu Muslihah, seperti mewakili ibu-ibu lainnya. Mereka semua sudah mengerumuni ayah mertua Dana di halaman musala. Yang dikerumuni tambah emosi. Sambil tangannya menuding-nuding, dibalasnya satu-satu kata-kata yang keluar dari kubu ibu-ibu.

“Masalah, dong! Saya jadi susah tidur. Padahal ini masih waktu tidur siang. Memangnya situ mau ngeloni saya biar bisa tidur? Kalau mau, ya ayo!”

“Najis nde bijis! Mending kita ngeloni sapi. Baunya sama, tapi kulitnya mulus, nggak keriput kaya situ!”

“Kalau begitu, tinggal pilih saja. Mau saya terus teriak-teriak protes di sini, atau itu sepiker dimatikan. Mending kalau suaranya situ-situ kaya suaranya Evi Tamala. Ini, suara persis piring pecah berani-beraninya pakai sepiker!”

“Berani lah! Biarpun suara sini jelek, kaya piring pecah, tapi muatannya berisi kebaikan, mengajak semua yang mendengar untuk ikut salawat. Pahala dapat, kepuasan batin dapat. Buat situ, kepuasan apa yang didapat dari tidur jam segini? O, maklumlah.. sepertinya sudah dekat mati, jadi sekarang dibanyakin tiduran buat latihan tidur di dalam liang kubur ya?”

Busyet, pikir Dana. Perang kata-kata yang sudah mulai ad hominem seperti itu harus segera dihentikan. Secepat kilat, dia yang baru saja pulang kantor berlari ke arah ayah mertuanya dan menarik tangan orang tua yang sudah merah mukanya itu untuk diajak pulang.

“Maaf, Ibu-ibu,” katanya sambil tersenyum kecut, “Kebetulan Bapak memang sedang sakit kepala dari kemarin, jadi kalau dengar bebunyian yang agak keras, suka marah-marah sendiri.”

“Enak aja!” kata ayah mertua Dana masih coba berontak dari cengkeraman anak mantunya itu. “Saya justru jadi sakit kepala karena suara kalian di sepiker itu!”

Tapi Dana tidak peduli. Diseretnya mertua bersumbu pendeknya itu dengan tanpa mengurangi rasa hormat. Sampai di rumah, tentu saja dia segera meminta maaf, tapi ayah mertuanya itu malah melampiaskan semua emosi padanya. Habislah Dana dimaki-maki dan tidak diajak bicara sama sekali selama berhari-hari.

Mardiyah yang tahu sifat-sifat ayahnya, hanya bisa menyabar-nyabarkan, “Tahu sendiri Bapak memang orangnya gitu. Mau diapa-apain ya tetep gitu. Mengenai musala yang seolah-olah mengganggu, nantinya dia juga pasti terbiasa.”

Dana tentulah bisa bersabar untuk satu dua hari. Tapi dia toh cuma manusia biasa, kesabarannya berbatas. Apalagi rasa malunya kepada tetangga dan jamaah musala itu semakin menjadi karena ayah mertuanya itu ternyata benar-benar bersikap antipati dan alergi terhadap semua yang berhubungan dengan musala baru itu. Parahnya, antipati itu ditunjukkan dengan sikap radikal militan dari hanya memarahi setiap muazin sampai bertengkar selalu tiap hari selasa dengan ibu-ibu pengajian. Ada saja. Maka kemudian tidak heran jika terciptalah sebutan baru bagi ayah mertuanya itu, Abu Jahal.

*****

Dana pernah mendengar sendiri, si Abu Jahal berkata dengan sinis sewaktu azan maghrib berkumandang sementara dia sedang hot-hotnya menonton pesbuker, “Lihat saja nanti, sepiker itu kalau nggak hilang, pasti dirusak orang.”

Dana yakin, perkataan seperti itu bakal dicatat dalam buku agenda syaithon, bukan oleh malaikat, dan jadi prioritas pertama untuk terwujud. Maka, ketika pada suatu tengah malam secara tidak sengaja dia melihat mertuanya itu keluar rumah dan berjalan menuju musala, Dana yakin mertuanya akan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Seketika itu juga tercetuslah sebuah ide di kepalanya. Tergesa-gesa diambilnya kain seprai dari tumpukan setrikaan lalu membuntuti.

Si Abu Jahal terlihat berkelakuan seperti maling. Berkali-kali dia celingukan, seperti memastikan keadaan sekitar sepi lalu masuk ke dalam musala tanpa menyalakan lampu. Jelas sudah, sama seperti apa yang ada dalam pikiran Dana, ayah mertuanya itu memang akan berbuat kotor. Mungkin akan melakukan sabotase musala. Merusak tipdek atau mencuri lalu menjualnya ke pasar loak agar sepiker tidak lagi berbunyi. Dana segera membungkus tubuhnya dengan kain seprai, mengendap-endap mendekat ke pintu musala. Dalam hatinya dia beristighfar berkali-kali dan merasa apa yang diniatkannya untuk dilakukan saat itu benar-benar bodoh. Memangnya dengan menakut-nakuti si Abu Jahal, orang tua itu akan sadar? Ah, kepalang tanggung. Dana pun sudah telanjur enek dengan kelakuan ayah mertuanya. Apapun yang terjadi nanti, dia sudah siap dengan resikonya.

Sambil bertiarap dan berlindung di balik pintu musala, diintipnya gerak-gerik si Abu Jahal. Dalam suram cahaya lampu bagian samping musala yang menembus ventilasi, ayah mertua Dana terlihat meraba-raba tipdek. Dana merasa itulah saatnya yang tepat untuk muncul, tapi dengan wajah dan tubuh berselubung kain seprai. Dengan pencahayaan yang minim seperti dalam musala itu, dia kini memang terlihat menyeramkan. Apalagi kemunculannya begitu tiba-tiba dan hanya tegak berdiri di tengah-tengah pintu musala. Persis dengan mahluk dalam film 40 hari kebangkitan pocong. Si Abu Jahal Nampak terkejut. Beberapa saat dia hanya bisa mematung memandangi apa yang tegak di pintu. Mulutnya menganga, matanya membelalak, tubuhnya gemetar.

Dari celah kain seprai Dana mengintip. Melihat ekspresi ayah mertuanya, walaupun tidak begitu jelas, sepertinya si Abu Jahal ketakutan. Sedikit menjadi berlebihan karena merasa tipuannya berhasil, Dana tanpa tertahan memaksa untuk berkata-kata dengan suara yang diserak-serakkan. Sebenarnya itu tidak ada dalam skenario rencananya karena niat awalnya hanya untuk menakut-nakuti orang agar tidak jadi menyabotase musala.

“Pramono!” katanya menyebut nama ayah mertuanya, “Ingatlah kepada Allah! Perbuatanmu sungguh memalukan! Bertobatlah! Atau nyawamu tercabut saat ini juga lalu arwahmu langsung menuju Jahanam tanpa dihisab!”

Setelah berani memaki-maki ayah mertuanya seperti itu, Dana “berhembus” pergi. Yang benar, dia berlari memutar cukup jauh agar ayah mertuanya itu tidak curiga, lalu langsung secepatnya kembali ke rumah melalui jalan kecil di samping rumah. Sampai di kamarnya dia mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya. Aneh, sampai kurang lebih satu jam dia menunggu, tidak ada tanda-tanda si Abu jahal, ayah mertuanya itu kembali ke rumah. Hatinya jadi khawatir. Maka dengan dada berdebar dia kembali ke musala. Jika ada apa-apa yang buruk terjadi terhadap ayah mertuanya itu, dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Tapi apa yang ditemukannya di dalam musala benar-benar membuatnya berdiri kaku dalam keheranan. Musala memang masih gelap, hanya cahaya lampu dari samping musala yang menembus ventilasi sebagai penerang walau remang-remang. Itu sudah cukup untuk mengenali bahwa seseorang yang sedang bersujud lalu menyelesaikan tahiyat akhir dalam salatnya di mihrab adalah Pramono si Abu Jahal, ayah mertuanya yang antipati dengan musala baru itu.

Tanpa berpikir lagi, biarpun keheranannya sebesar gunung, Dana segera mengambil air wudhu lalu mengambil tempat tepat di belakang ayah mertuanya yang sedang berzikir. Bersalat pula dia dua rakaat. Hening di antara mereka ketika pun Dana telah selesai dengan salatnya. Saat si Abu Jahal akhirnya berbalik, Dana langsung mencium tangannya.

“Kamu mau Bapak ceritakan sesuatu, Dan?”

“Maafkan saya, Pak. Sayalah yang tadi menakut-nakuti Bapak,” kata Dana tidak menanggapi petanyaan ayah mertuanya karena rasa bersalah.

“Iya, Bapak tahu.”

“Lha?”

“Seprai yang kamu pakai tadi itu memangnya Bapak nggak mengenali? Itu yang beli ibunya Mardiyah. Makanya Bapak tahu itu kamu. Mardiyah jelas nggak mungkin.”

Oh, my goat... malu sekali Dana. Berarti sedari awal ayah mertuanya itu sudah mengetahui kalau dialah yang menakut-nakuti.

“Tapi Bapak nggak sedang membahas itu.”

“Lha, Bapak mau membahas apa?”

Tersenyum si Abu Jahal, manis sekali. Jarang Dana melihatnya seperti itu.

“Awalnya Bapak mau langsung memarahi kamu. Sudah menakut-nakuti mertua, ditambah lagi dengan kata-katamu yang nggak mutu itu.”

Dana tersipu-sipu. Pikirnya, dia adalah menantu paling durhaka seluruh dunia.

“Tapi mulut Bapak seperti terkunci. Tubuh Bapak kaku tidak bisa digerakkan. Bukan karena takut, justru karena terpesona dan takjub.”

“Terpesona dan takjub karena apa, Pak?”

“Subhanallah... Subhanallah...,” ayah mertua Dana menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apa yang Bapak lihat mungkin kamu nggak akan percaya.”

“Apa yang Bapak lihat?”

“Bukan cuma kamu dengan kain seprai itu saja yang Bapak lihat, tapi puluhan mahluk-mahluk rupawan... entah malaikat, entah jin... mereka semua memenuhi musala ini. Cahaya benderang seolah terpapar dari tubuh-tubuh mereka. Menyilaukan, tapi sekaligus memberi rasa damai tersendiri buat Bapak. Mereka salat berjamaah, berzikir, lalu membaca ayat-ayat Al Qur’an. Ah, sungguh khidmat. Bapak sampai hampir menangis karena tiba-tiba teringat segala perbuatan Bapak terhadap musala ini.”

Dana merinding. Jika benar apa yang diceritakan itu, dia yakin ayah mertuanya telah mengalami satu pengalaman spiritual yang langka. Hal yang tiba-tiba, entah kenapa, membuatnya menjadi iri sekaligus berlega hati. Dalam hati ayah mertuanya, pastilah menyadari bahwa bisa saja apa yang dialaminya itu adalah satu peringatan untuknya. Pastilah setelah ini orang tua itu akan berubah. Di manapun terdapat mesjid atau musala, pastilah ada kebaikan. Karena itu wajiblah bagi siapapun untuk memakmurkannya. Tidak ada alasan sedangkan malaikat pun bersalat dan berzikir di dalamnya.

“Bapak berjanji akan menjadi orang yang terdepan untuk memakmurkan musala ini, Dan, ” kata si Abu Jahal yang telah cair hatinya sebelum lalu mengajak menantunya pulang.

“Alhamdulillah. Jadi Bapak nggak akan bertengkar lagi sama ibu-ibu atau mempermasalahkan azan dan sepiker, Pak?” tanya Dana. Berdua mereka berjalan keluar dari musala di dini hari itu.

Tetep! Bapak akan men-sweeping para muazin yang suaranya bikin sakit telinga dan seenaknya saja menentukan waktu salat sendiri. Bapak akan mengusulkan DKM untuk bikin acara pelatihan azan buat para mereka-mereka yang memang berniat jadi muazin. Terus buat ibu-ibu, Bapak akan usulkan juga agar yang suaranya bagus saja yang boleh pakai sepiker. Bukan asal mangap nggak karuan. Masa sih dari sekian banyak ibu-ibu nggak ada yang suaranya bagus?”

“Betul.. betul.. usul yang bagus,” Dana manggut-manggut, “Cuma sayang...”

“Sayang kenapa?”

“Nggak bakalan ada lagi tontonan seru.”

“Tontonan seru apa?”

“Bapak bertengkar sama ibu-ibu. Jujur, itu sebenarnya tontonan yang menarik, Pak.”

“Sontoloyo kamu!”

Cigugur, 3 Agustus 2012

- kalo nggak kepotong jumatan, ini pasti sekali duduk dua kali tengkurep

1343980754903693056
1343980754903693056

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun