Aku menatapnya tajam, mencoba menemukan matanya saat kepalanya tengadah. Matanyapun menemukan mataku dan dalam beberapa detik kemudian, hal yang sama seperti yang dialami lelaki-lelaki sebelumnya kembali terjadi. Sepasang mata miliknya itu terbelalak, mulutnya ternganga dan wajahnya pias. Lucu. Begitu lucunya sehingga aku tak bisa menahan tawa dan langsung tertawa lepas dan keras memecah malam sampai-sampai tubuhku yang berayun dengan menggunakan rambut panjangku yang kubelitkan di dahan beringin itu berputar-putar. Kulihat lelaki itu lalu menjatuhkan lampu senternya dan berbalik arah, berlari serabutan sambil berteriak-teriak histeris sampai tidak terlihat lagi oleh mataku.
Aku menghentikan tawaku, mendadak terdiam lesu dan hanya bisa menatap ke arah arah lelaki itu menghilang. Tuh, kan? Apakah benar wajahku memang begitu buruk? Begitu menakutkan?
Ah, tiada lelaki lagi kali ini, keluhku sambil melepaskan belitan rambutku pada dahan beringin itu. Hanya tinggal aku dan malam yang bersekutu dengan angin, meniup-niup pucuk daun beringin dan menebarkan aroma melati, sesekali bercampur aroma bangkai: aroma orang mati.
Cigugur, 3 Februari 2011
: demi Allah, bukan karena nuruti komen Mamar karena komennya justru baru aja dibaca pas mau edit..haha..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H