Setiap anak terlahir istimewa. Saya selalu percaya itu. Bahwasanya, kita diciptakan dan dianugerahi kehidupan oleh Yang Maha Tinggi, bukan tanpa alasan. Melainkan, karena kita istimewa. Kita sering kali lupa akan hal itu. Coba renungkan, dari tujuh milyar penduduk bumi, adakah yang memiliki selera musik yang sama dengan kamu? Atau sesederhana, adakah diantara mereka yang tiap lekuk helai rambutnya sama persis dengan yang kamu punya? Saya berani bertaruh bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu, akan selalu bermuara pada kata "tidak" sebagai jawaban.
Kamu boleh saja mengeluh perihal bagaimana kamu merasa bentuk tubuhmu terlalu kurus dan tidak menarik untuk dilihat, atau tentang betapa kakunya kamu setiap kali diberi kesempatan untuk berbicara di depan khalayak, dan payahnya kamu jika sudah berurusan dengan matematika. Silakan permasalahkan semua itu. Tidak masalah. Tapi, jangan sampai kekecewaanmu itu mengalihkanmu dari fakta betapa istimewanya kamu sebenarnya. Sekali lagi, coba renungkan. Dibalik bentuk tubuh yang bagimu tidak pas itu, adakah temanmu yang mampu memainkan pianika sebagus kamu? Atau bisa membuat panekuk seenak buatanmu? Setiap kali kamu menatap postingan selebgram yang muncul di timeline Instagram-mu dengan tatapan kagum bercampur iri dengan keindahan tampilan fisik mereka, pernahkah kamu terbayang, bahwasanya teman-temanmu kadang menatapmu dengan tatapan serupa? Ya, setiap kali kamu beraksi dengan pianikamu, mereka akan terkagum-kagum, lantas berandai-andai seandainya mereka memiliki keterampilan dan secakap kamu dalam memainkan alat musik. Pernahkah kamu mengapresiasi dirimu sejauh itu? Pernahkah? Kita sering kali lupa.
Selain itu, hal lain yang sering tak kamu sadari, lingkungan tempat kamu bertumbuh, yang semestinya menjadi wadah bagi kamu untuk berkembang sesuai dengan minat, potensi, dan mimpi kamu, malah acapkali bekerja sebaliknya. Mereka-mereka yang harusnya menjadi support system nomor wahid dan fasilitator segala mimpi, tak jarang justru akan menjelma sebagai penghancur semua angan dan keistimewaan kamu lewat komentar dan sikap yang sangat tidak supportive. Lingkungan tempat kamu bertumbuh, yang bersembunyi di balik stereotype-stereotype klise tentang kapasitas dan kualitas setiap orang, akan menjelma menjadi penyakit dalam diri, apabila kamu tidak sanggup menghadapi tekanan-tekanan itu. Tekanan yang menyatakan bahwa seorang seniman tidak lebih baik dari pegawai negeri, tekanan tentang anak yang jago matematika jauh lebih unggul dibanding anak yang memiliki bakat dan potensi di bidang gambar, tekanan yang di malam hari menjelang tidur, akan menggerogoti kepercayaan diri kamu, dan membuat kamu bertanya-tanya tentang arti hidupmu. Bantu aku sedikit. Tolong jangan didengarkan.
Kamu hebat, sungguh. Untuk mencapai titik di mana kamu berada sekarang, kamu sudah berusaha sangat keras, beribu-ribu rintangan dan lika-liku jurang telah kamu lewati. Kencangnya angin malam di bulan Desember, derasnya hujan pada pekan pertama Oktober, dan garangnya terik mentari di penghujung September, semuanya sudah kamu taklukkan dengan gagah. Untuk berada di titik sekarang, kamu sudah berkorban banyak hal. Ingat saja betapa sakitnya ketika kulitmu pertama kali ditembus jarum suntik dulu ketika kamu kecil, ingatkah kamu seberapa takut kamu untuk menghadapi itu? Sekarang, kamu berhasil melewatinya, bukan? Atau, bagaimana ketika insekuritasmu memuncak menjelang ujian nasional SMP? Bukannya dulu kamu berusaha sangat keras dan berjuang mati-matian untuk mendapat nilai yang memuaskan, lulus dengan predikat membanggakan, dan diterima di SMA impian, ingat nggak kayak apa takutnya kamu dulu seandai-andai kamu gagal di ujian tersebut? Khawatir akan mengacau lalu mengecewakan semua orang. Sekarang bagaimana? Kamu berhasil melewatinya, bukan? Jadi, masihkah ada alasan untuk tidak mengapresiasi kerja kerasmu itu? Atau, kamu ingin kembali me-reset semua dari awal? Semua hari-hari buruk, yang berhasil kamu takluki dengan sangat hebat?
Saya tahu fase-fase sekarang adalah fase yang berat untuk dijalani. Kamu harus beradaptasi dengan banyak hal. Kultur pergaulan baru, aplikasi aneh yang baru kamu kenal dan mesti digunakan untuk mengerjakan tugas, menu sarapan yang berbeda, jenis bacaan sebelum tidur yang tidak lagi sesederhana novel roman atau manga Jepang seperti dulu. Belum lagi, masalah-masalah sosial yang menyenggol langsung aspek kepercayaan dirimu. Tapi, bila kamu sudah bisa menyayangi dirimu, menerima segala adanya kamu, saya janji, semuanya akan terasa lebih mudah. Karena kamu, seperti selalu, istimewa. Di dunia ini, hanya ada satu kamu. Jika kamu merasa ragu dan kecewa terhadap dirimu, maka seluruh dunia pun akan bersedih. Karena kamu adalah bagian dari dunia ini, dunia ini cuma ada satu kamu. Apa jadinya jika kamu yang hanya satu ini, justru malah tidak ingin menjadi kamu. Sampai sini paham?
Jadi, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah, angkat kepalamu, lihatlah dunia, dan pandangilah refleksi dirimu di cermin. Barangkali, karena terlalu asyik dengan segala kekalutanmu, sampai-sampai kamu lupa dengan banyaknya kenikmatan yang ada di sekelilingmu. Hei, lihatlah dua pasang alis tebal yang melengkung sempurna itu, elok macam sayap burung camar yang terbang di ufuk timur rupanya. Bukankah itu milikmu seorang? Lalu, jerawat dan komedo yang dulu menganggumu, kini sudah berangsur berkurang, dan bahkan tidak kelihatan lagi. Bibirmu juga terlihat makin manis saja. Ah, kenapa baru sekarang kamu menyadarinya? Apakah selama ini kamu demikian malas becermin? Atau kamu hanya fokus dengan bagian yang tidak kamu suka dari dirimu saja, sampai-sampai kamu luput untuk menyadari fakta bahwa kamu sangat istimewa.
Orang-orang sering bilang kalau di dunia ini, tidak ada manusia yang sempurna. Menurutku, apa pun yang melekat pada dirimu, adalah kesempurnaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H