Mohon tunggu...
Haris Nurdianto
Haris Nurdianto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya adalah seorang polisi yang menyukai dunia penulisan, karena mimpi saya saat ini yang akan selalu akan kejar adalah menjadi penulis hebat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Maafkan Aku Kota Jember (Bagian III : Tampak Tidak Muda Lagi)

8 September 2012   03:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:46 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tuhan, Aku menyukai Dia, bolehkah Aku tetap bersamanya disini?” Hardi membatin seraya berkata kepada wanita yang sedari tadi duduk berhadap-hadapan dengannya. “Arni, bolehkah Aku mengatakan sesuatu?” “Hmmm, apa tuh mas? Jangan yang aneh-aneh ya!” “Iya, ehm, kamu harus janji kepada saya, kamu jangan marah ya kalau ada ucapan Aku yang salah!” “Iya mas, Arni janji.” “Sebenarnya saya su....” ---- “Mas mas, bangun mas. Sudah pagi ini loh. Kamu gak solat subuh?” Suara lembut khas seorang wanita tiba-tiba terdengar dan membangunkan Hardi. “Ternyata gua lagi mimpi ya tadi? Huh, tapi gua beneran suka ya sama dia? Arni...” batin Hardi sambil mengusap-usap mukanya. “Eh, De Arni, emang udah jam berapa? Aduuuh, Saya belum Subuh lagi.” “Jam enam mas, kamu tuh ya tidurnya lucu banget, hehe, sedikit-sedikit ngorok. Kayak kerbau mas. Sudah solat dulu sana, Aku sudah siapin teh manis sama gorengan.” “Wah, oke deh.” Dengan langkah terduyun-duyun masih terkantuk-kantuk, Hardi melangkahkan kakinya ke kamar mandi, terlihat Ibu Arni sedang memasak sarapan pagi. Ada cah kangkung, tempe goreng, ikan asin, sambal, membuat Hardi semakin ingin cepet menyelesaikan solatnya dan merasakan kelezatan makanan khas manusia-manusia Jember. “Brrrr...” suara air menyiprat ke muka Hardi, “Dingin sekali nih air, mau ambil wudhu aja kedinginan apalagi gua mandi, bisa beku nih badan” Hardi membatin, tubuhnya menolak air yang tidak pernah dia rasakan di Jakarta. “Sudah selesai mas? Bapak sama Ibu udah nunggu di ruang tamu tuh. Kamu cepetan donk kalau sudah selesai solatnya langsung ke ruang tamu ya!” “Ya De.” Hardi yang baru akan solat terdiam mendengar Arni, batinnya pun menerawang lagi, ”Aduh, mau ngomong apa lagi ya tuh Bapak, kemarin aja gua bingung jawab satu pertanyaan doank, bayangkan satu pertanyaan aja bikin gua mau kabur, apalagi sekarang, ditungguin pula” Hardi pun segera menyelesaikan solatnya kemudian menuju ruang tamu. Seperti biasa, sebagaimana adat ketimuran, kalau ngeliat orang yang lebih tua darinya maka yang muda pasti cium tangan, apalagi yang dicium seorang bapak yang anaknya Hardi suka. “Sudah pulang Pak, jam berapa pulang dari kantornya Pak? “ Hardi mencoba memulai pembicaraan. "Jam 6 pagi tadi. Saya pulang cepet soalnya ada tamu disini." "Tamu darimana Pak? Emang dia mau dateng jam berapa? Kayaknya tamu penting ya Pak?" "Loh, tamunya itu kamu. Belum ada jadwal tamu yang datang selain kamu hari ini." "Oh, saya kira ada tamu lain." muka Hardi langsung merah padam. "Kamu sudah sarapan belum?" "Belum sih Pak, tapi kan ada teh manis sama gorengan Pak. Cukup buat ganjel perut saya sementara." "Iya, tunggu ya, Ibu sama Arni sedang membuatkan sarapan pagi. Saya mau mandi dulu ya! Abis ini kita sekeluarga mau main ke Kencong, kampung mbahnya Arni." "Iya Pak, silahkan." "Kencong, daerah mana lagi tuh? Indah kayaknya, tapi ke rumah mbahnya Arni? Gua mau diajak kenalan sama keluarga Arni lainnya? Waduh, gua kan baru kesini pertama kali, masa cepet banget gua ketemu sama keluarga-keluarga Arni yang lain. Kecepetan deh." batin Hardi bingung bercampur dengan keraguan, padahal dia belum benar-benar tahu, apakah Arni akan menjadi sebuah tulang rusuknya di saat nanti. Dia tak mau terlalu jauh bermimpi, karena orangtuanya pun belum tahu tentang ini. Akankah orangtuanya akan menyetujuinya. Dia belum tahu, namun untuk saat ini Dia akan terus mencari setengah keping hatinya, dimana pun, walaupun di kota ini, kota yang sangat jauh dari kediamannya di Jakarta, Kota Jember. "Mas, Mas Hardi? Halo?" "Eh, iya. Kenapa De?" lamunan Hardi kembali ke sebuah ruangan seluas 4 x 5 meter itu, tampak seorang wanita mengenakan Daster seadanya, "Kamu belum mandi saja sudah sangat menawan hatiku Arni, tampak olehku, engkau wanita yang apa adanya, Aku suka Arni, tapi entah, Aku belum mampu mengungkapkannya saat ini." kembali Hardi membatin memuji wanita terbaik yang mau menerimanya walaupun dari kejauhan. "Kamu itu loh, ngelamun saja dari tadi. Sudah makan dulu, cah kangkung, tempe goreng, ikan asin dan sambal sudah disiapin dibelakang. Ayo toh Mas!" "Iya, iya. Pasti lah saya makan, saya kan belum pernah makan di Jember, De." dengan semangat, Hardi pun langsung loncat dari sopa yang sudah tidak layak lagi untuk diduduki, busa-busanya sudah hampir habis, bahan yang terbuat dari kulit warna hijau pun sudah mulai terkupas disana sini. "Sederhana, selera gua banget." "Bu, Pak, sudah pada makan belum?" Hardi mencoba berbasa basi sebelum menyantap makanannya. "Sudah, sudah kamu makan duluan sama Arni, nanti Ibu dan Bapak belakangan." Bapak dan Ibu Arni menjawab hampir bersama-an. "I iya Pak" Senang sekali Hardi pagi itu, bisa makan bareng dengan wanita yang sudah bukan hanya impian lagi, yang selama ini dia cuma lihat lewat facebook, yang dia ragu dan sampai pernah bertanya kepada Arni, "Kamu perempuan kan? bukan bencong?", soalnya Hardi pernah nonton disebuah acara TV kalau ada pasangan yang sudah menikah selama dua bulan tapi ternyata baru ketahuan kalau istrinya itu seorang laki-laki yang nyamar jadi perempuan, semua gara-gara facebook, yang pengennya dapet yang jelas malah jadi tempat menipu, makanya Hardi gak Dia gak mau itu terjadi pada dirinya, namun saat ini sudah tidak lagi keraguan, wanita ini memang makhluk cantik yang Tuhan berikan kepada laki-laki agar manusia tetap bisa jadi manusia yang sesuai dengan kodratnya. Arni pun ingin mengungkapkan kepada Hardi, apa yang dia rasakan, entah ada sesuatu yang bergetar di kedalaman hatinya, laki-laki yang selama ini dicarinya ternyata berasal dari kejauhan tempat tinggalnya, laki-laki yang benar-benar nyaman untuk mengadukan isi hatinya, mengadukan keluh kesah, dia sudah sangat yakin bahwa yang dia lihat saat ini benar-benar nyata, sudah tak ada bayang-bayang tak jelas seperti yang selama ini hanya bisa dia bayangkan melalui akun sosial itu. Arni ingin mengungkapkan tapi apalah daya, dia hanya seorang perempuan, dia punya prinsip “kalau soal menyatakan cinta itu yang harus menyatakan hanya dari laki-laki, bukan perempuan, kalau Aku yang menyatakan, mau ditaro dimana harga diriku?”. Sesekali kedua manusia yang sedang dirundung rasa suka ini tersenyum bego, bingung mau ngomong banyak-banyak, malu. Keduanya hanya bisa terseyum kecil, terkekeh-kekeh kecil juga, banting banting kepala (eits kelewatan itu mah), kalau keduanya saling bertemu pandang. Ada getaran yang sangat indah, seperti indahnya melodi-melodi lagu dari musik Jazz yang mengalun dengan indah menggambarkan perasaan dua anak manusia yang sedang diliputi rasa cinta. “Tambah mas nasinya, biar kenyangnya pas. Kita mau ke Kencong abis ini” Arni mencoba memulai percakapan ”Nggwak, Dwe, iwnwi awjwa uwdwah fwull bwangwet.” Hardi ngomong sambil nguyah kangkung lezat buatan Ibu Arni. “Aduh mas, kalau mau ngomong tuh makanannya diabisin dulu yang di mulut.” “Iwywa.” masih ada sedikit lagi kangkung yang di kunyah. “Oh ya De, kita mau ngapain ya di kencong?” “Itu loh mas, Mbahku kan sudah tinggal yang putri, jadi biasanya kami sekeluarga selalu berkunjung kesana seminggu sekali untuk lihat kabar dari Mbahku disana. Abis itu sekalian mau jenguk kakak sepupuku yang sakit.” “Hmm, saya ikut?” “Iya lah mas, gak enak ninggalin tamu sendirian di rumah.” "Okelah kalau begitu" dengan mengangkat jempol kanannya Hardi memastikan dia akan ikut bersama keluarga Arni keliling rumah dan tempat-tempat dimana keluarga besarnya berada. Kedua Orangtuanya pun telah menghabiskan nasi terakhir yang dipunya di pagi itu, Arni baru akan memasaknya lagi sepulang dari bersilaturahmi ke rumah Neneknya, ke rumah pamannnya, ke rumah sepupu yang sekaligus sahabatnya. Motor keluarga hanya satu, tak muat apabila mereka sekeluarga ingin berpergian, namun Pak Diman telah menyiasati, dia meminjam motor dinas milik kantornya untuk dipakai seharian di hari minggu yang cerah ini. Hardi pun mulai menyalahkan motornya, diikuti Pak Diman yang terlihat senyum kecil menghiasi wajahnya. Pak Diman senang, kini anak satu-satunya telah memiliki pasangan hidup. Begitu pula Ibunya, Hardi melihat seberkas cahaya yang mengembang melewati rawut wajahnya yang mulai tampak tidak muda lagi. Hardi pun tertunduk, entah apa yang dia rasakan, hatinya kian jatuh tersungkur, batinnya mencoba mengungkapkan "Apakah gua bener-bener mencintai keluarga kecil ini atau hanya Arnilah yang menjadi sebab mengapa gua harus jauh-jauh melintasi berbagai provinsi? Gua bingung." Baca bagian selanjutnya, klik Disini. Baca bagian awalnya, klik Disini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun