Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Uang Semir Usai Sholat

16 September 2010   03:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_259180" align="alignleft" width="275" caption="Tukang Semir/gambar dari Googling"][/caption]

Dalam bahasa Indonesia setidaknya kita mengenal ada dua cara untuk memaknai kata-kata: secara harfiah atau kiasan. Secara harfiah artinya kita memaknai suatu kata-kata dalam arti yang paling mendasar, misalnya uang diartikan sebagai alat pembayaran. Sementara memaknai kata secara kiasan atau perumpamaan, biasanya digunakan untuk memperhalus penyampaian kata yang sebenarnya, misalnya penggunaan kata “uang semir” untuk menggantikan kata uang sogok yang biasanya diberikan untuk menyogok seseorang agar diperlancar segala urusannya.

Bahwa kata “uang semir” dipilih sebagai kata kiasan pengganti uang sogok atau uang pelicin sesungguhnya tidaklah mengherankan karena fungsi semir sendiri pada hakekatnya adalah untuk mengkilapkan, melicinkan atau membuat suatu benda (biasanya sepatu atau sandal dari kulit) menjadi kinclong.Dengan tingginya praktik korupsi di Indonesia, penggunaan kata “uang semir” sebagai kata kiasan tentu saja jauh lebih populer dibanding pengartian kata secara harfiah.Sedikit sekali orang yang menerapkan kata “uang semir” secara harfiah yaitu menggunakan lembaran uang sebagai alat untuk menyemir (mengkilapkan atau membersihkan sepatu atau sandal dari kulit.

Dari yang sedikit itu, saya berkesempatan langsung menyaksikan seseorang menerapkan kata “uang semir” secara harfiah. Adalah seorang bapak berusia sekitar 50 tahunan (sebut saja bapak X) yang melakukannya di depan masjid Rest Area KM 227 Tol Palikanci pada tanggal 13 September 2010 sekitar pukul 13.45 wib.

Saat itu si bapak X baru saja usai sholat dhuhur dan akan kembali ke kendaraannya. Sambil mengenakan topi hitam berlogo Pemda DKI, bapak X mengeluarkan selembar uang kertas seribu rupiah dari kantungnya. Dengan muka dingin bapak X kemudian menyemir sepatu sandal yang akan dikenakannya menggunakan lembaran uang seribuan tersebut. Ia tidak peduli atau mungkin bersikap masa bodoh jika perbuatannya disaksikan banyak orang yang ada di lingkungan masjid.

Usai menyemir sepatu sandalnya dengan lembaran uang seribu rupiah, si bapak X meremas-remas uang tersebut dan membuangnya ke pengemis dan anak-anak yang berada di pelataran masjid. Lagi-lagi ia bersikap cuek dan tidak peduli bahwa perbuatannya disaksikan banyak orang.

Melihat kejadian tersebut, saya dan banyak orang yang berada di tempat tersebut terus terang hanya bisa bengong. Saya sendiri seolah tidak percaya melihat kejadian tersebut. Bagaimana bisa seorang bapak yang baru saja menyelesaikan sholat dan kemungkinan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dengan entengnya melakukan penghinaan terhadap fungsi uang dan memperlihatkan keangkuhannya di hadapan banyak orang. Kemana sikap rendah hati dan kesabaran yang mestinya didapat dari sholat dan puasa yang dilakukannya?

Boleh jadi si bapak X memang tidak suka dengan kehadiran pengemis dan anak-anak di sekitar Rest Area Toll Palikanci yang meminta-minta uang dari para pemudik yang mampir di tempat tersebut. Tapi apakah harus berlaku demonstratif sepertiitu? Saya rasa tidak. Kalau bapak X memang tidak suka dengan keberadaan mereka dan tidak ingin memberikan sumbangan, semestinya lebih baik diam saja. Atau kalau si bapak X kenal dengan pengelola Rest Area, ia bisa memintanya agar pengemis dan anak-anak tersebut tidak berada di pelataran masjid dan memberikan solusinya.

Pikiran saya kemudian melantur jauh membayangkan kelakuan si bapak X seandainya ia adalah pejabat Pemda DKI (asumsi ini didasarkan pada topi berlogo Pemda DKI yang dikenakannya). Perilaku macam apa yang akan dilakukannya terhadap anak buah atau masyarakat?. Saya bayangkan si bapak X akan mengedepankan sikap angkuhnya dan berkeinginan untuk selalu dilayani dan diberi uang semir. Kalau di Pemda DKI banyak orang yang berkelakuan seperti bapak X, tidak mengherankan jika banyak urusan yang menyangkut urusan masyarakat tidak pernah tuntas penyelesaiannya, misalnya masalah kemacetan. Jangan heran jika urusan kemacetan di Jakarta yang mestinya menjadi tanggungjawab Pemda justru diambil alih Pemerintah Pusat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun