[caption id="attachment_343768" align="aligncenter" width="393" caption="Pohon natal Swarovski di Sanlitun Beijing / Foto oleh Aris Heru Utomo"][/caption]
Ada satu masa dimana perayaan Natal menjadi suatu kegiatan terlarang di Tiongkok. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini perayaan Natal di negeri yang menganut paham sosialis komunis dengan sebagian besar warganya atheis justru memperlihatkan tren peningkatan yang semakin semarak.
Kesemarakan Natal di Tiongkok tampak dari keramaian di pusat-pusat perbelanjaan, restoran dan tempat-tempat hiburan yang penuh dengan pernak-pernik Natal mulai dari Santa Klaus dengan rusa dan kereta luncurnya plus saxophone hingga pohon Natal raksasa untuk menarik pengunjung berbelanja dan membuka dompetnya lebar-lebar. Kaca-kaca toko dihiasi dengan gambar pohon natal, bunga, dan pita warna warni sementara lagu “jingle bell” berkumandang di udara.
Sosok Santa Klaus mendadak menjelma menjadi tenaga pemasaran kelas wahid yang hadir di pusat-pusat perbelanjaan guna membujuk para pengunjung untuk berbelanja. Sosok Santa Klaus tersebut antara lain menjelma dalam diri pramuniaga toko yang siap menyambut para pengunjung pusat perbelanjaan dengan penuh keceriaan dan kehangatan.
Berbagai cara memang dilakukan pengelola pusat perbelanjaaan dan toko-toko untuk menarik perhatian para pengunjung. Toko kristal Swarovski misalnya memasang pohon Natal raksasa dari kaca di kawasan pusat perbelanjaan Sanlitun di Beijing sejak awal Desember 2014.
Swarovski bukanlah satu-satunya perusahaan yang memasang pernak pernik hiasan Natal dan memanfaatkan momentum hari raya umat Kristiani tersebut untuk berjualan dan mempromosikan produk-produknya. Banyak pusat perbelanjaan dan toko-toko lainnya yang memasang pernak pernik Natal dengan berbagai ukuran dan bentuk, misalnya saja Uniqlo, Apple dan Adidas Store.
Meriahnya suasana perayaan Natal di Tiongkok, terutama di kota-kota metropolitan seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou, tentu menarik perhatian dan memantik pertanyaan apakah masyarakat di negeri sosialis komunis tersebut telah menjadi lebih religius?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya kita melihat tren meningkatnya popularitas Natal di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir ini.
Menurut sebuah survei yang dilakukan China Social Survey Institute (CSSI) terhadap responden berusia 15-45 tahun, diketahui bahwa tren meningkatnya popularitas perayaan Natal akibat semakin banyaknya anak-anak muda Tiongkok yang belajar ke luar negeri, terutama ke Inggris, Amerika Serikat dan Kanada. Diperkirakan sebanyak 275 ribu pelajar Tiongkok mendaftar di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat setiap tahunnya atau sekitar 30 persen dari keseluruhan pelajar Tiongkok yang belajar ke luar negeri. Ketika liburan atau setelah menamatkan pendidikan para pelajar tersebut membawa kebiasaan Natal versi mereka masing-masing ke tempat tinggalnya di Tiongkok.
Berbeda dengan perayaan Natal di Barat yang “khidmat, serius, dan penuh semangat keagamaan” dan dijadikan waktu yang tepat bagi keluarga untuk berkumpul dan makan bersama, menikmati masakan rumahan, melakukan tukar menukar kado dan sesudahnya pergi ke gereja untuk melakukan misa, maka Natal versi Tiongkok memiliki karakteristik tersendiri.
Anak-anak muda di perkotaan yang membawa pengaruh budaya Barat memandang perayaan Natal sebagai “alasan untuk berpesta dan beristirahat sejenak di akhir tahun serta merasakan atmosfir tahun baru internasional”. Umumnya tidak ada tanda-tanda kegiatan kegiatan keagamaan yang muncul selain pesta semata. Tidak mengherankan jika sosok Santa Klaus di Tiongkok sering digambarkan tengah memainkan saxophone, suatu alat musik yang identik dengan Barat dan pada suatu masa identik dengan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton yang gemar memainkan saxophone.