Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Muslim Nanjing Ajak Indonesia Bangun Universitas Islam

25 September 2014   19:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu siang cuaca cerah dan langit biru menyelimuti Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu, di kawasan timur Tiongkok. Berjarak sekitar 1.100 km dari Beijing, Nanjing dicapai selama sekitar 4,5 jam menggunakan kereta cepat. Dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa, Nanjing saat ini merupakan kota kedua terbesar di Tiongkok bagian timur setelah Shanghai. Disamping itu, dengan penduduk muslim sekitar 100 ribu jiwa, Nanjing termasuk salah kota yang memiliki penduduk muslim terbesar di Tiongkok bagian timur.

Besarnya jumlah penduduk Muslim di Nanjing tersebut tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di kota tersebut yang berlangsung sejak jama Dinasti Tang (618-907). Bahkan pada tahun terakhir masa pemerintahan Dinasti Ming dan awal Dinasti Qing, Nanjing menjadi pusat kebudayaan Islam di Tiongkok dan banyak jenderal kerajaan yang menganut agama Islam.

Menyimak sejarah panjang kota Nanjing dan bangunan bersejarah yang ditinggalkannya seperti tembok kota dan masjid, banyak hal yang bisa kita pelajari dan pahami, salah satunya adalah mengenai sejarah Islam di Tiongkok pada sekitar abad ke-14.

Di kota Nanjing kita dapat menjumpai masjid-masjid yang telah berusia ratusan tahun dan bisa mewakili gambaran Islam di Nanjing pada masa itu, salah satunya adalah masjid Jingjue yang didirikan pada tahun 1388 di jaman kekaisaran Hongwu dari Dinasti Ming.

Untuk mengunjungi masjid Jingjue yang beralamat di Sanshan Street kita bisa menggunakan transportasi umum seperti subway dan keluar di stasiun Shanshan. Berjalan sejenak ke utara kita akan melihat bangunan berarsitektur tradisional China, tanpa kubah bundar di atasnya.

Dari jalan raya masjid Jingjue tidak terlihat sama sekali keberadaannya karena dikelilingi bangunan toko dan tempat tinggal warga. Kita baru bisa mengenali keberadaan masjid setelah melewati pintu gerbang pertama dan melihat gapura setinggi sekitar 4 meter. Terlihat ukiran bunga khas China dikombinasikan dengan kaligrafi Islam. Pintu utama berbentuk melengkung ke atas dengan dua buah pintu kecil di sampingnya. Pintu-pintu itu dilengkapi dengan pagar berwarna hitam yang selalu terbuka. Sebagaimana filosofi sebuah masjid yang selalu terbuka kepada semua jamaah yang datang.

Saat memasuki komplek masjid, tidak tampak kegiatan apapun atau orang-orang yang berlalu lalang di halaman. Meski demikian, sayup-sayup terdengar seseorang tengah membaca Al Quran di sebuah ruangan. Saya kemudian menuju ke bagian tengah komplek dan menjumpai sebuah ruang aula yang terbuka dan didalamnya terlihat seperti sedang ada pameran.

Seorang wanita berkerudung kemudian segera menghampiri dan menyambut kedatangan saya. Saya pun segera menyampaikan salam yang dibalas salam dengan ramah dan sopan. Setelah berkenalan, wanita Muslim dari etnis Hui yang bernama Ma Sude pun dengan senang hati menjelaskan tentang kegiatan pameran “Islam di Nanjing” yang digelar di salah satu aula gedung di dalam komplek masjid Jingjue.

Sejak dibuka pada bulan Juli 2014 lalu (bertepatan dengan bulan ramadhan), pameran yang dibuka untuk umum dan tanpa dipungut biaya tersebut telah banyak didatangi pengunjung, terutama para orang tua dari etnis muslim Hui di Nanjing yang ingin kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan Islamnya. Selain menjelaskan mengenai pameran yang diselenggarakan di salah satu aula komplek masjid, dengan senang hati Ma Sude pun mengajak saya melakukan tour mengelilingi komplek masjid dan memperkenalkan saya kepada imam masjid dan umat Muslim yang kebetulan sedang berada di dalam komplek.

Masjid Jingjue berdiri di atas tanah seluas 4.000 m2 dan dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok dengan beberapa bangunan terpisah seperti bangunan utama untuk sholat yang dapat memuat sekitar 200 jamaah, ruang imam, ruang kelas untuk belajar agama dan tempat menerima tamu. Interior disainnya terlihat elegan dengan pilar-pilar bangunan yang didominasi warna coklat tua dan tulisan kaligrafi Arab berwarna kuning di beberapa tempat.

Di depan bangunan masjid berdiri bangunan lain yang digunakan sebagai ruang tamu atau ruang tunggu bagi para petinggi kerajaan sebelum mereka memasuki aula masjid. Dengan adanya bangunan untuk ruang tunggu maka halaman di depan masjid utama pun menjadi terbatas.

1411621907664872120
1411621907664872120
Pada akhir kunjungan di kawasan komplek masjid, Ma Sude juga memperlihatkan bangunan bekas sekolah 4 lantai yang terletak di samping masjid dan juga berdiri di atas tanah seluas 4.000 m2 yang baru saja diberikan pemerintah kota Nanjing kepada pengurus masjid dan Nanjing Islamic Association. Menurut Ma Sude, bangunan bekas sekolah ini rencananya akan dijadikan sebagai sebuah perguruan tinggi Islam pertama di Nanjing.

Berbeda dengan saat saya memasuki komplek masjid yang tidak memperlihatkan adanya kegiatan apapun, ketika saya keluar dari bangunan utama masjid, terlihat serombongan orang-orang tua serta beberapa yang separuh baya tengah bersiap-siap melakukan kegiatan. Para prianya mengenakan kopiah putih dan kaum wanita mengenakan kerudung yang menutupi seluruh bagian kepala.

Ma Sude menjelaskan bahwa rombongan tersebut adalah para mualaf yang baru saja memeluk kembali agama Islam sekitar 2-3 minggu lalu. Mereka datang seminggu dua kali untuk belajar membaca Al Quran atau bersama-sama membaca Al Quran dengan dibimbing imam dan ustad di masjid. Sebagian besar anggota rombongan tersebut berasal dari Etnis Muslim Hui. Namun karena tekanan Pemerintah Tiongkok, khususnya pada masa revolusi kebudayaan pada tahun 1960-70an, banyak di antara anggota masyarakat dari etnis Muslim Hui yang meninggalkan keislamannya.

Kini sejalan dengan pemberian kebebasan yang lebih leluasa dari Pemerintah Tiongkok kepada umat Muslim untuk menjalankan ajaran agama, umat Muslim di Nanjing memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan siar Islam dengan mengajarkan kembali pengetahuan dan sejarah Islam kepada umat Muslim dari etnis Hui di Nanjing.

Umat Muslim di Nanjing menyadari sepenuhnya bahwa sebagai minoritas di Tiongkok, sangat sulit bagi mereka untuk menjaga keislamannya, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Apalagi sistem pendidikan di Tiongkok secara tegas memisahkan pendidikan dengan ajaran agama dan karenanya banyak anak-anak muda kehilangan hubungan dengan agama mereka dan akhirnya banyak yang meninggalkan kewajiban dalam agama Islam seperti sholat dan puasa.

Karena itu pengurus masjid Jingjue dan Nanjing Islamic Association secara berkesinambungan berupaya mengajarkan pendidikan agama kepada seluruh lapisan masyarakat Muslim di Nanjing, termasuk dengan antara lain menyelenggarakan pengajian rutin dan menggelar pameran secara periodik. Selanjutnya mereka dengan senang hati menerima pemberian bekas gedung sekolah 5 lantai seluas 4.000 m2 dari Pemerintah Kota Nanjing. Jika dananya sudah mencukupi, direncanakan bangunan sekolah tersebut akan dijadikan sebuah Perguruan Tinggi Islam untuk mengajarkan mengenai sejarah dan pengetahuan mengenai Islam. Untuk itu mereka sangat mengharapkan dukungan finasial dan non-finansial dari berbagai pihak.

Mengetahui saya dari Indonesia, sebuah negara besar dengan mayoritas penduduknya Muslim, Ma Sude menyampaikan harapannya agar kiranya masyarakat Indonesia dapat membantu keinginan Muslim Nanjing membangun dan mengembangkan sebuah perguruan tinggi Islam, baik bantuan keuangan ataupun dukungan tenaga pengajar.

Menanggapi keinginan tersebut di atas, saya menjanjikan untuk meneruskan informasi ini kepada masyarakat di Indonesia, antara lain melalui tulisan di blog, agar keinginan dan harapan Muslim Nanjing tersebut dapat diketahui lebih luas oleh masyarakat di Indonesia.

Terus terang saya berharap bahwa keinginan Muslim Nanjing mendirikan perguruan tinggi Islam dapat ditanggapi positif oleh masyarakat Muslim Indonesia. Saya akan sangat senang jika keinginan mendirikan perguruan tinggi Islam dapat terwujud karena bantuan Muslim Indonesia. Bantuan yang diberikan Muslim Indonesia ini merupakan langkah yang sangat baik dalam membina hubungan antar masyarakat Indonesia dan Tiongkok (people-to-people) di masa yang akan datang dan meletakkan jejak Indonesia di Tiongkok.

Jika di abad ke-14 Laksamana Zheng He mengarungi samudera dan mendarat di berbagai wilayah di Indonesia, mengajarkan Islam di tempat yang disinggahinya dan meletakkan jejak Islam Tiongkok di Nusantara, kini kesempatan terbuka bagi Muslim Indonesia untuk meletakkan tapak kaki di Tiongkok, khususnya di Nanjing dengan antara lain berperan serta membangun perguruan tinggi Islam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun