[caption id="attachment_182817" align="aligncenter" width="516" caption="Kuil Wuhou, kuil yang didekasikan untuk PM Zhuge Liang dari Kerajaan Shu / foto oleh Aris Heru Utomo"][/caption]
Untuk kedua kalinya dalam tahun ini, saya berkesempatan berkunjung ke Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan. Jika pada kunjungan pertama di bulan Februari 2012, saya berkesempatan berkunjung ke Chengdu Panda Research Base, maka pada kunjungan beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu objek wisata kawasan kota tua Chengdu.
Sebagai sebuah kota yang diperkirakan didirikan pada tahun 316 Sebelum Masehi atau lebih dari 2.000 tahun lalu oleh para pendiri Kerajaan Shu, salah satu dari tiga kerajaan besar di masa China kuno, tentu saja akan menarik jika saat berkunjung berkesempatan untuk menyaksikan jejak-jejak kejayaan masa lalu kota Chengdu seperti gerabah, tugu, bangunan dan sebagainya.
Suatu hal yang tidak mudah karena seiring modernisasi dan kemajuan kota Chengdu dan statusnya sebagai salah satu kota terpenting yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, dan keuangan, serta menjadi hub transportasi dan komunikasi di China bagian barat daya, berbagai peninggalan dan jejak sejarah Chengdu berupa bangunan pun ikut tergusur dan digantikan oleh gedung-gedung pencakar langit, jembatan, jalan layang dan sebagainya.
Namun demikian, guna menjaga kelestarian sejarah berbagai upaya pun dilakukan, salah satunya adalah dengan merenovasi dan merekonstruksi bangunan bersejarah yang masih tersisa. Hal tersebut dilakukan Pemerintah Provinsi Sichuan dan Kota Chengdu dimana sejak tahun 2004 merenovasi dan merekonstruksi secara terpadu beberapa bangunan dan kawasan bersejarah serta menjadikannya sebagai daerah kunjungan wisata, salah satunya adalah kawasan kota tua di Jalan Lama di kawasan Jinli (Jinli Old Street) yang dikenal sebagai “Jalan Pertama pada masa Kerajaan Shu” yang diperkirakan dibangun pada sekitar tahun 221-263 Sebelum Masehi.
Jalan tersebut persis terletak disamping kuil Wuhou, sebuah kuil yang pertama kali dibangun pada sekitar tahun 223 Sebelum Masehi guna menghormati Zhuge Liang, seorang Perdana Menteri dan Penasihat terkemuka Kaisar Liu Bei pendiri Kerajaan Shu. Untuk memasuki kawasan tersebut, pengunjung tidak dipungut biaya apapun, kecuali jika ingin memasuki kuil Wuhou dikenakan tarif masuk sebesar RMB 60.
[caption id="attachment_182819" align="aligncenter" width="547" caption="Pintu masuk ke Jalan lama Jinli / foto oleh Aris Heru Utomo"]
Jalan Lama di Jinli direkonstruksi seperti suasana pada masa pemerintahan Dinasti Qing (1644-1911). Di kiri kanan jalan sepanjang 350 meter dibangun rumah-rumah tradisional berarsitektur Sichuan yang dikombinasikan dengan arsitektur China modern. Semua bangunan dibuat mirip seperti aslinya, termasuk bahan bangunan dari kayu dan disainnya. Kesan pertama ketika memasuki kawasan ini pengunjung seolah dibawa ke ingatan masa lalu, masa pemerintahan Dinasti Qing dimana saat itu kawasan tersebut dipergunakan sebagai kawasan niaga tempat bertemunya para penjual dan pembeli.
[caption id="attachment_182830" align="aligncenter" width="576" caption="Resto merangkap tempat pertunjukan opera Sichuan / foto oleh Aris Heru Utomo"]
Semua bangunan yang terlihat tua tersebut difungsikan sebagai restoran, toko souvenir dan tempat pertunjukan kesenian. Untuk melengkapi suasan tempo dulu, semua penjaga toko, pelayan, hingga petugas kebersihan menggunakan pakaian tradisional.Bukan hanya itu, para pengunjung pun diajak untuk mengenal dan menghargai seni dan budaya masyarakat Sichuan.
[caption id="attachment_182821" align="aligncenter" width="516" caption="Burung dara goreng pedas / Foto oleh Aris Heru Utomo"]
Bagi para pengunjung yang menggemari makanan tradisional China, kawasan ini sangat tepat untuk berburu kuliner makanan khas Sichuan yang terkenal pedas dengan cabe keringnya yang berlimpah plus ‘mala’ (bahan bumbu lokal yang membuat rasa pedas tetap menempel di lidah). Beberapa penganan ringan juga cukup asyik untuk dinikmati seperti ayam dan burung dara goreng yang ditaburi cabe kering, tahu goreng dengan saus pedas, dan beberapa penganan lainnya seperti kembang gula yang dibentuk menyerupai burung atau hewan lainnya.
[caption id="attachment_182825" align="aligncenter" width="516" caption="Pedagang permen tradisional / foto oleh Aris Heru Utomo"]
Selain mencicipi mananan tradisional Sichuan, terdapat pula bar, café dan tempat minum teh (teahouse) yang menawarkan beragam makanan modern. Tempatnya cukup mengasyikan dengan perpaduan bangunan dan furniture bergaya kuno dan modern. cocok untuk tempat beristirahat dan melepas lelah setelah berbelanja dan mengelilingi kawasan Jinli. Di beberapa restoran bahkan terdapat perpaduan antara rumah makan dan tempat pertunjukkan dimana tersedia panggung besar untuk menampilkan kesenian tradisional dan opera Sichuan sambil menikmati hidangan.
[caption id="attachment_182826" align="aligncenter" width="516" caption="Salah satu cafe dengan bangunan tradisional / foto oleh Aris Heru Utomo"]
Berkat penataan yang apik, ditambah promosi mengenai keberadaan dan sejarah kawasan wisata kota tua di Jalan Lama Jingli menarik banyak kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara. Tidak mengherankan jika Pemerintah Provinsi Sichuan dan Kota Chengdu menjadikan kawasan kota tua Jinli sebagal salah satu tujuan wisata utama di Provinsi Sichuan dan kota Chengdu.
Seperti fungsi aslinya sebagai kawasan niaga, kawasan kota tua Jingli saat ini juga memiliki fungsi serupa sebagai kawasan niaga, hanya saja lebih difokuskan pada penjualan kuliner dan produk kerajinan tradisional. Melihat para pengunjung yang ramai menikmati berbagai sajian kuliner, saya jadi teringat dengan berbagai kawasan food court yang ada di Jakarta, salah satunya adalah food court yang ada di Mall Kelapa Gading 3 (MKG3). Hanya saja, jika di MKG3 bangunannya didisain dengan arsitektur modern, maka di Jinli bangunannya didisain dengan arstiektur tradisional masa Dinasti Qing.
Saya terus terang belum berani membandingkan kawasan wisata Kota Tua Jinli dengan kawasan kota tua Jakarta di daerah Kota dan sekitarnya. Meski sama-sama menjual label ‘kota tua’, namun Pemerintah DKI Jakarta dan pengelola kawasan Kota Tua Jakarta sepertinya masih harus belajar dari Biro Pariwisata Provinsi Sichuan dan kota Chengdu.
Beberapa hal yang dapat dipelajari dan diterapkan adalah pertama, bagaimana melibatkan semua pemangku kepentingan mulai dari ahli, akademisi, pejabat pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat, blogger dan sebagainya dalam pengelolaan Kota Tua Jakarta sebagai suatu kawasan tujuan wisata. Kedua, bagaimana menyiapkan dukungan infrastruktur yang baik sehingga pengunjung dapat menjangkau kawasan Kota Tua Jakarta dengan mudah, aman dan nyaman. Ketiga, bagaimana mendorong partisipasi masyarakat untuk tidak membuang sampah seenaknya dan menyediakan fasilitas kebersihan yang memadai, termasuk fasilitas toilet bersih dan gratis di tempat wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H