Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja tiba di Ha Noi, Vietnam, 27 Oktober 2010, ketika bencana Tsunami menerjang kawasan kepulauan Mentawai dan Gunung Merapi memuntahkan debu panas. Keberadaan Presiden di Vietnam tersebut, setelah dua hari sebelumnya berkunjung ke China, sontak memunculkan reaksi di dalam negeri yang menganggap SBY tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya dan lebih memilih melakukan perjalanan ke luar negeri.
Seolah merespon reaksi di dalam negeri, sesaat setelah melakukan kunjungan kenegaraan dan mengadakan pertemuan dengan Presiden Vietnam Nguyen Minh Triet, SBY pun mempersingkat kunjungannya yang semula akan berlangsung hingga 31 Oktober 2010. SBY meninggalkan pembukaan KTT ke-17 ASEAN (diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa) dan pamitan kembali ke tanah air untuk menengok korban bencana. Akibatnya sejumlah pertemuan bilateral dengan sejumlah Kepala Negara anggota ASEAN dan mitra wicara ASEAN pun dibatalkan. Tercatat pertemuan bilateral yang dibatalkan adalah pertemuan dengan Presiden Filipina, Presiden Korea Selatan, PM China, PM Jepang dan PM Selandia Baru. Dari Hanoi, SBY terbang langsung ke Mentawai lewat Padang guna meninjau korban bencana dan memantau proses penanganan penanggulangan bencana secara keseluruhan, baik untuk korban di Mentawai maupun Merapi. Satu setengah hari di lokasi bencana, pada tanggal 29 Oktober 2010 SBY kembali ke Hanoi untuk lanjut menghadiri KTT ke-17 ASEAN yang penutupannya berlangsung pada tanggal 30 Oktober 2010. Pertanyaan yang muncul di benak sebagian anggota masyarakat adalah kenapa SBY harus bolak balik ke Hanoi seperti yoyo? Bukankah dengan perangkat telekomunikasi canggih yang tersedia saat ini, SBY bisa melakukan pertemun jarak jauh (teleconference). Menanggapi pertanyaan tersebut, tidak ada penjelasan resmi dari juru bicara kepresidenan maupun SBY sendiri, selain adanya sejumlah agenda pertemuan tingkat tnggi yang mesti diselesaikan. Namun mengutip pendapat Frederk Stanton (penuls buku Great Negotiations: Agreements That Changed the Modern World), kita dapat mengerti kenapa SBY mesti kembali ke Hanoi untuk meneruskan pertemuan KTT ASEAN. Menurut Stanton, karena alasan kepraktisan, "komunikasi nonverbal sangat penting" dalam praktik diplomasi. Dengan bertatap muka, pesan yang ingin disampaikan dapat lebih mengena ke sasaran dibandingkan melalui jalur telekomunikasi. Untuk itu tidak heran jika Menteri Keuangan AS Timothy Geither mengatakan bahwa "tidak ada diplomasi tanpa pertemuan tatap muka". Untuk itu kehadiran SBY di Hanoi memang dibutuhkan. Tanpa Indonesia pertemuan puncak para pemimpin ASEAN seperti kehilangan ruhnya. Indonesia adalah raksasa di kawasan Asia Tenggara yang secara konsisten menjadikan ASEAN sebagai corner stone politik luar negerinya. Kehadiran Indonesia di KTT ASEAN dan pertemuan tingkat tinggi dengan negara mitra wicara bukanlah sekedar meniru bunyi sebuah iklan "tanpa elo gak rame" Sebagai big brother di kawasan Asia Tenggara, peran Indonesia sangat dominan. Selain itu, mengingat bahwa Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN 2011 kehadiran SBY sangat penting guna menyampaikan visi ASEAN dalam menuju terbentuknya Komunitas ASEAN 2015. Penyampaian visi ini sendiri tidak terlepas dari peran penting Indonesia dalam sejarah perkembangan dan transformasi ASEAN. Peran Indonesia dalam mentransformasi ASEAN mulai terjadi saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN dan tuan rumah KTT ASEAN pada 2003. Pada tahun 2003 tersebut, ASEAN berubah dari sebuah asosiasi menjadi sebuah komunitas bangsa-bangsa. Hasilnya, ASEAN kini tidak hanya memiliki sebuah pedoman yang jelas yang dituangkan dalam Piagam ASEAN, tetapi tujuan bersama, yakni Satu Visi, Satu Identitas, dan Satu Komunitas. Dengan kehadiran Presiden RI di tengah-tengah para pemimpin ASEAN lainnya dan juga para pemimpin negara mitra wicara saat pertemuan ASEAN dengan mitra wicara, Indonesia dapat menekankan bahwa keberhasilan membangun komunitas ASEAN ke depan adalah memperluas hubungan luar negeri ASEAN dengan negara-negara mitra wicara dan yang lainnya. Indonesia perlu menyampaikan bahwa transformasi kawasan harus mampu menjawab tantangan global saat ini. Sebagai Ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia ingin meyakinkan peserta pertemuan mengenai perlunya upaya mempercepat pelaksanaan komitmen dan kesepakatan ASEAN. Indonesia akan membawa ASEAN bergerak cepat dari visi ke aksi. Dari implementasi ke hasil nyata yang bermanfaat. Dengan tema "ASEAN Community, In a Global Community of Nations", Indonesia akan memperluas kerjasaman ASEAN dengan mitra wicaranya, dan akan memastikan peran sentral ASEAN dalam evolusi arsitektur kawasan Asia Pasifik. Indonesia akan wujudkan arsitektur kawasan yang ditandai oleh ekuilibrium dinamis. Pada saat yang sama, Indonesia akan perkuat keterlibatan global ASEAN. Akhirnya dalam konteks praktik diplomasi, diplomasi yoyo yang dilakukan SBY bukanlah suatu praktik yang baru. Diplomasi semacam ini sudah merupakan suatu kelaziman, dimana seorang pemimpin negara atau menteri luar negeri bolak balik dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelesaikan permasalahan melalui pertemuan tatap muka. Hasilnya sudah tentu lebih efektif dibanding sekedar berkomunikasi lewat jalur telekomunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H