[caption id="attachment_398240" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Tiongkok Xi Jinping (Thumas Muko/Reuters)"][/caption]
Melanjutkan kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak menjadi pemimpin tertinggi di Tiongkok, Presiden Xi Jinping kembali melakukan aksi blusukan di saat pergantian tahun baru lunar atau Imlek. Berbeda dengan blusukan tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di seputaran Beijing dan bertemu antara lain dengan para buruh bangunan, polisi, petugas pemadam kebakaran dan sopir taksi, maka blusukan tahun 2015 ini dilakukan di desa Liangjihe, Provinsi Shaanxi, sebuah provinsi yang terletak di sebelah barat daya Tiongkok.
Blusukan ke desa Liangjihe boleh dikatakan bukan sekedar blusukan biasa tetapi sekaligus mudik alias pulang kampung. Meski dilahirkan di Beijing dari keluarga veteran Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Zhongzhun, Xi Jinping pernah menghabiskan waktu selama 7 tahun di desa Liangjihe. Ketika itu, sekitar 47 tahun lalu (1968), Xi Jinping muda (15 tahun) datang dan menetap di Liangjihe selama 7 tahun sebagai bagian dari kelompok pemuda yang dikirim Ketua PKT Mao Zedong untuk merasakan kehidupan buruh pedesaan.
Selama 7 tahun di desa Liangjihe, Xi Jingping tinggal di gua di perbukitan yang biasa ditempati warga desa, tidur di atas kang (tempat tidur tradisional yang terbuat dari tumpukan batu bata dan tanah liat), bertahan dari gigitan kutu, membersihkan pupuk kandang, membangun bendungan dan memperbaiki jalan. Di desa Liangjihe ini pula Xi Jinping mendaftar dan bergabung sebagai anggota PKT.
Seperti diberitakan harian China Daily, kedatangan kembali Xi ke desa Liangjihe sehari menjelang Imlek disambut dengan penuh antusias oleh warga desa yang tetap memanggilnya dengan nama pertamanya Jinping. Xi Jinping bertemu kembali dengan warga desa yang dulu pernah tinggal dan bekerja bersamanya membangun desa, salah satunya adalah Wang Xianjun. Wang Xianjun, yang dipanggil dengan nama panggilan Yin oleh Xi Jinping, adalah salah seorang yang membantu membangun bendungan dan mengalirkan air ke tanah persawahan yang kering di desa Liangjihe.
Dengan penuh keakraban Xi Jinping berbincang dengan warga desa dan mengunjungi tempat-tempat dimana dulua ia pernah tinggal. Ia berbincang dan berseloroh dengan Gong Zhengfu (68 tahun) yang di masa dikenal kuat dan jago gulat .
“Kamu pada saat itu sangat kuat dan pegulat terbaik di desa, tapi sayang kamu tidak bias mengalahkan saya”, begitu antara lain gurau Xi Jinping. Selanjutnya ia juga mengingat masa-masa dimana ia mesti membaca buku dan menuliskan pemikiran-pemikirannya di malam hari dengan penerangan lampu teplok serta menghadiri acara pernikahan salah satu keluarga dimana ia tinggal.
Sebenarnya kunjungan Xi Jinping ke desa Liangjihe kali ini bukanlah yang pertama sejak ia meninggalkan desa tersebut. Pada tahun 1993, saat menjabat sebagai pimpinan sekolah PKT di Fuzhuo, ia pernah berkunjung ke desa Liangjihe dan 4 kali mengirim surat ke penduduk desa guna mendorong semangat bekerja keras dan memperbaiki kehidupan mereka. Namun kunjungannya sebagai pemimpin nasional sebuah negara berpenduduk 1,3 milyar baru dilakukan kali ini.
Dalam kunjungan kali ini, yang didampingi oleh istrinya, Peng Liyuan dan diperkenalkan kepada warga desa dengan menggunakan dialek lokal, Xi Jinping memusatkan perhatian pada kemajuan pembangunan desa dalam pengentasan kemiskinan dan membawa kado imlek yang dibeli dri koceknya sendiri seperti tepung, beras, minyak goreng, daging dan lukisan-lukisan perayaan menyambut tahun baru imlek. Xi Jinping sangat senang mengetahui bahwa terdapat kemajuan yang signifikan dalam pembangunan di desa Liangjihe, yang antara lain tampak dari kecukupan persediaan pangan dan jaminan kesehatan bagi warga desa. Ia juga sangat senang mengetahui bahwa ketersediaan dan saluran air untuk bercocok tanam berjalan baik dan internet sudah masuk ke desa tersebut serta tingginya pendapatan per kapita masyarakat desa yang mecapai 9.600 yuan (US$ 1,560). Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan saat kedatanggannya 47 tahun lalu.
Untuk itu Xi Jinping menyampaikan pesan-pesannya kepada pemuda agar jangan mengecilkan desa dimana mereka tinggal. Desa adalah tempat yang terbaik bagi pengetahuan dan jika dicermati dengan seksama, maka akan terdapat sesuatu yang bisa dipelajari dimanapun. Karenanya Xi Jinping yakin bahwa masa depan desa akan jauh lebih baik dan ia ingin menyaksikan bahwa generasi mendatang akan tumbuh baik dan bekerja untuk kepentingan masyarakat.
Langkah Xi Jinping untuk secara berkelanjutan melakukan blusukan dan bertemu langsung dengan anggota masyarakat sejak awal aktif di PKT hingga menjadi pemimpin Tiongkok disambut baik oleh masyarakat luas. Masyarakat Tiongkok memberikan apresiasi tinggi kegiatan blusukan yang dilakukan para pemimpinnya karena kegiatan tersebut memperlihatkan kepedulian pemimpin kepada masyarakatnya. Jika pada saat blusukan di Beijing untuk menunjukkan kepedulian kepada anggota masyarakat yang karena satu dan lain hal tidak dapat pulang kampung saat Imlek, maka kunjungan ke desa Lianjuhe justru untuk memperlihatkan dan menegaskan kembali makna mudik untuk berkumpul bersama keluarga. Dan kehadiran Xi Jinping sebagai pemimpin nasional di tengah-tengah masyarakat desa jelas sangat berarti.
Di Tiongkok, Xi Jinping bukanlah sekedar seorang Presiden dan Kepala Negara, tetapi ia adalah seorang ketua partai terbesar di Tiongkok yaitu PKT (ketuanya disebut sebagai Sekretarits Jenderal). Partai ini memiliki kewenangan yang sangat besar dari pusat hingga daerah, mulai dari menjalankan pemerintahan hingga pengawasan. Dengan kewenangan yang sangat besar ini maka dapat dikatakan seorang ketua partai jauh lebh berkuasa disbanding seorang pemimpin nasional atau daerah. Di tingkat daerah misalnya, seorang gubernur adalah anggota partai dan kedudukannya tidak lebih tinggi dari ketua partai daerah. Semua tugas dan program pembangunan yang mesti dijalankan gubernur dan aparatnya adalah program pembangunan yang telah disesuaikan dengan arahan dan penugasan partai di pusat, melalui ketua partai di daerah, dan pelaksanaannya diawasi penuh oleh ketua partai daerah.
Kondisi tersebut di atas tentu saja tidak bisa disamakan dengan sistem kepartaian di Indonesia. Seorang Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Umum PDIP berdasarkan hukum ketatanegaraan tidak bisa memerintahkan seorang Presiden RI sebagai Kepala Negara/Pemerintahan, walau elit PDIP kerap menyebut Presiden Joko Widodo sebagai petugas partai.
Sesuai mekanisme, semua program pembangunan yang akan dijalankan eksekutif dibawah pimpinan presiden sebagai seorang kepala negara/pemerintahan mesti dibahas terlebih dahulu di DPR yang anggotanya bukan hanya dari PDIP tetapi multi partai, karena itu, ika PDIP saja yang merupakan partainya Presiden yang berkuasa tidak bisa memerintahkan secara hukum, apalagi partai-partai lain seperti Nasdem, Hanura, PKB meski mereka berkoalisi dengan partainya presiden
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H