Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Menerima Kekalahan dari Abhisit

5 Juli 2011   00:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:56 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_120655" align="aligncenter" width="680" caption="Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva (KOMPAS.com/AFP/Pornchai Kittiwongsakul)"][/caption]

1309825942685439114
1309825942685439114
“Saya memutuskan untuk mundur karena saya tidak dapat memimpin partai meraih kemenangan dalam pemilihan umum (pemilu)”, demikian pernyataan PM Thailand Abhisit Vejjajiva sehari setelah pelaksanaan pemilu 3 Juli 2011 dimana Partai Demokrat yang dipimpinnya sejak tahun 2005 gagal meraih suara mayoritas dan kalah dari Partai Pheu Thai pimpinan Yingluck Shinawatra.

Sebelumnya, hanya beberapa jam setelah pelaksanaan pemilu dan hasil hitung cepat memperlihatkan kekalahan partainya, Abhisit pun segera mengakui kekalahannya dan memberikan ucapan selamat kepada Partai Pheu Thaui dan Yingluck yang akan menggantikannya sebagai PM Thailand yang baru.

Apa yang dilakukan Abhisit layak diapresiasi dan diteladani mengingat tidak mudah bagi seseorang untuk menerima kekalahan dan mengakui keunggulan orang lain. Dapat dipastikan Abhisit kecewa dengan kekalahannya, tetapi kekecewaan tersebut tidak ditunjukkan ke publik. Ia pun tidak serta menyalahkan jajaran pengurus partainya yang tidak maksimal menggalang suara masyarakat agar memberikan dukungan kepada partai. Perlu jiwa besar dan kematangan bersikap untuk dapat melakukannya dan Abhisit telah sampai pada tahapan tersebut.

Apa yang dilakukan Abhisit sepertinya bertolak belakang dengan para politikus di tanah air yang seringkali ngotot dan tidak bisa menerima kekalahan. Banyak contoh-contoh yang bisa dikemukakan terkait hal ini. Peristiwa Pemilihan Presiden tahun 2004 sepertinya menjadi contoh klasik tentang bagaimana sikap seorang pemimpin yang tidak layak ditiru oleh siapapun. Saat itu seorang calon presiden yang kalah tidak mau mengakui kekalahannya dan bahkan hingga kini tidak mau bertegur sapa dengan mesra.

Contoh lain bisa dilihat pada tingkat daerah, terutama pada saat pemilihan kepala daerah.Seorang calon kepala daerah yang kalah, tidak serta merta dapat menerima kekalahannya. Beragam alasan diajukan untuk menolak kekalahannya, mulai dari tindakan kekerasan seperti penyerangan hingga mengajukan gugatan ke Komite Pemilihan, Pengadilan hingga Mahkamah Konsitusi.

Di tingkat partai politik, contoh yang mudah dapat dilihat dari sikap para elit politik di sebuah partai politik besar yang kalah dari partai yang relatif baru. Pemimpin partai tersebut enggan untuk mundur dan memilih untuk terus bertahan, dan ironisnya kalah lagi pada pemilihan berikutnya. Sementara itu di sebuah partai yang pernah begitu berkuasa di masa Orde Baru, seorangcalon ketua umum yang gagal bersaing dengan calon lainnya, memilih untuk membuat kendaraan baru dan membawa pendukungnya ke kendaraan barunya.

Abhisit telah membuktikan bahwa kekalahan bukan untuk diratapi tapi untuk disikapi dengan penuh tanggung jawab, salah satunya dengan mengakui kemenangan orang lain dan mengundurkan diri dari jabatan (sebagai ketua partai). Dengan mengakui kemenangan orang lain, ia ingin menunjukkan bahwa terdapat orang lain yang lebih bisa diterima rakyat. Sementara dengan mengundurkan diri sebagai ketua partai, ia memberikan kesempatan kepada orang lain yang dipandang lebih baik untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya memimpin (partai).

Jika Abhisit telah membuktikan bahwa ia bisa mengakui kekalahan dan memberikan kesempatan kepada orang lain, mestinya para politikus Indonesia pun mampu melakukan hal yang serupa. Cuma masalahnya adalah apakah para politikus mau untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh bukan sekedar retorika? Ataukah kita masih memerlukan contoh lebih banyak lagi sebelum benar-benar melakukannya? Bagaimana menurut anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun