Ramadan seperti buka puasa bersama dan menyantap takjil, maka satu lagi tradisi yang akan saya ceritakan adalah kebiasaan ngabuburit, yaitu kebiasaan yang dilakukan setiap Ramadan untuk menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa.
Â
Dari sisi bahasa, ngabuburit sendiri berasal dari Bahasa Sunda yang kemudian meluas penggunaannya, bukan hanya di Sunda namun juga menyebar luas ke daerah lainnya.
Menurut Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), ngabuburit adalah lakuran dalam bahasa Sunda dari ngalantung ngadagoan burit, yang artinya bersantai-santai sambil menunggu waktu sore. Kata dasarnya, burit, berarti sore hari. Waktu ini biasanya antara usai salat asar hingga sebelum matahari terbenam.
Konon istilah ngabuburit sendiri mulai dikenal luas sejak zaman Orde Baru saat Ulama Buya Hamka menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada saat itu, Buya Hamka mendapat arahan dari Presiden Soeharto untuk mengisi momentum ngabuburit dengan kegiatan keagamaan.
Ngabuburit dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mendengarkan ceramah keagamaan ataupun mengaji, jalan-jalan, bermain, bercengkerama, mencari takjil gratis, mendatangi pasar kuliner atau menghabiskan waktu di taman.
Dari berbagai bentuk ngabuburit tersebut di atas, saya akan menceritakan pengalaman ngabuburit saya dari masa ke masa dan lokasi ngabuburit di setiap masa.
Pertama, pengalaman ngabuburit saya semasa kanak-kanak. Pada masa ini kegiatan ngabuburit saya lebih banyak pada aktivitas bermain, jalan-jalan dan bercengkerama bersama teman-teman sebaya.
Saya masih ingat, lokasi ngabuburit favorit kami adalah kawasan Gelanggang Remaja yang tidak jauh dari rumah. Di tempat ini, selain terdapat gedung untuk berolahraga, terdapat pula area terbuka yang cukup luas yang dapat dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya untuk berkumpul dan bermain. Selain areanya yang cukup luas, kawasan disini juga dipenuhi aneka pohon rindang.
Biasanya saya dan teman-teman bermain sepakbola dengan menggunakan bola plastik di area terbuka beraspal yang kami jadikan lapangan sepakbola dadakan. Kalau tidak bermain bola, saya dan teman-teman bermain sepeda mengelilingi kawasan Gelanggang Remaja atau sekedar duduk-duduk saja melihat aktivitas orang-orang yang berlalu lalang. Menjelang magrib barulah kami pulang ke rumah masing-masing.
Ketika sudah dewasa dan berkeluarga, tentu saja lokasi ngabuburit favorit tidak lagi di Gelanggang Remaja, terlebih saya sudah lama pindah dari kawasan tersebut. Lokasi ngabuburit kami kali ini adalah pusat perbelanjaan dimana kami menunggu berbuka puasa sambil melihat-lihat barang yang dijual di toko.
Beberapa saat menjelang berbuka puasa, barulah kami menuju restoran atau food court yang ada di pusat perbelanjaan. Karena padatnya pengunjung, seringkali mesti berebut tempat duduk dan kerap tidak kebagian. Meski seringkali tidak dapat tempat duduk dan harus mengantri, namun ngabuburit di pusat perbelanjaan masih tetap menjadi  favorit. Rasanya senang saja ikut antrian di restoran atau di food court walau sebenarnya membuang-buang waktu.
Seiring berjalannya waktu, lokasi ngabuburit favorit saya sekarang ini adalah di rumah sendiri atau masjid. Kegiatan menunggu azan magrib atau tibanya waktu berbuka puasa terasa lebih nyaman bila dilakukan di rumah atau masjid.