konser enam hari Taylor Swift di National Stadium Singapore yang dimulai Sabtu (2/3) hingga Jumat (7/3).
Headline harian Kompas, Minggu (3/3), memberitakan mengenaiHeadlines tersebut tidak saja memberitakan tentang suasana konser yang dihadiri oleh ribuan penggemarnya, dari berbagai negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, China, Korea Selatan, Polandia dan bahkan dari Amerika Serikat, tetapi juga ulasan di sekitar konser yang dihadiri bukan hanya oleh fans Taylor Swift atau biasa dipanggil Mbak Taytay tersebut.
Para fans Mbak Taytay yang disebut Swifties ini rela terbang jauh-jauh dari negaranya ke Singapura hanya untuk menyaksikan penampilan idolanya,. Meski untuk itu mereka harus rela menggelar tikar di seberang stadion karena tidak kebagian tiket.
Eforia luar biasa dari Swifties, tentu saja menarik perhatian. Dari pertanyaan yang diajukan Wartawati Kompas, Elsa Emiria Leba, ke sejumlkah swifties yang hadir di Singapura, setidaknya ada tiga alasan dari Swifties  untuk hadir di Singapura.Â
Pertama, terpikat boleh keteladanan Taylor Swift yang dipandang independen dan inspiratif. Kedua, lagu-lagu Taylor Swift sesuai dengan cerita hidup swifties, khususnya dalam hal percintaan. Ketika mendengarkan Taylor Swift bernyanyi, para fans merasa sedang dibisiki cerita dan nasihat yang dibutuhkan. Ketiga, Swift bukan sekedar penyanyi tetapi juga penyanyi yang dipandang sebagai sosok yang cerdas, kreatif dan punya naluri bisnis yang kuat.
Ketiga Hal di atas inilah yang memunculkan ikatan dan menciptakan perasaan terhubung  yang kuat antara Taylor Swift dan penggemarnya. Apa yang diimpikan penggemar, pemenuhannya ditemukan pada diri sang idola. Secara positif, sang idola menjadi kerangka etik bagi penggemar karena ia bisa menawarkan sesuatu yang membuat penggemar terhubung dan merasa terwakilan.
Membaca fenomena relasi Taylor Swift dan juga  artis-artis pop lainnya, seperti tersebut di atas, saya membayangkan apabila hal tersebut bisa pula terjadi pada relasi antara tokoh politik dan masyarakat pendukungnya.
Bagaimana misalnya kelompok msyarakat yang mendukung tokoh politik tertentu mendasarkan dukungannya pada sikap independen, inspiratif, mewakili aspirasi masyarakat dan memiliki keteladanan dari si tokoh politik. Semua hal yang pada glirannya menjadi kerangka etik yang membuat penggemar  terhubung.
Dari  Taylor Swift politisi dapat belajar bahwa keterhubungan dengan penggemar tidak cukup diciptakan menjelang konse, tetapi jauh-jauh hari sebelum sebuah album baru diluncurksn atau konser diadakan.Â
Keterhubungan dilakukan bukan dengan bagi-bagi bantuan superti bantuan sosial, melainkan melalui ikatan emosional dengan menunjukkan bahwa kehadiran politisi memang dibutuhkan oleh masyarakat pendukungnya. (AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H