Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Jenderal Bintang Empat tapi Inilah Kolonel yang Berani Lawan Barat

29 Februari 2024   10:13 Diperbarui: 29 Februari 2024   10:32 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia

Bagi mereka yang berkarir di dunia militer, pangkat jenderal menjadi idaman para perwira, khususnya bagi mereka yang menempuh pendidikan di akademi militer. Sejak masuk pendidikan, setiap taruna sudah menguatkan tekadnya agar setelah lulus nantinya bisa berkarir hingga jenjang tertinggi menjadi jenderal bintang empat.

Namun nampaknya tidak semua perwira militer berkeinginan atau berakhir menjadi jenderal bintang empat, salah satunya adalah Muammar Ghadaffi. Ia merupakan salah seorang lulusan Akademi Militer Kerajaan di Benghazi, Libya. Dan meskipun pernah menjadi pemimpin tertinggi di Libya dari 1969-2011, ia tidak pernah mempromosikan pangkatnya menjadi perwira tinggi. Hingga 41 tahun berkuasa, pangkat kolonel itu tetap dipakainya.

Sebagaimana diketahui, sejak berkuasa di tahun 1969 hingga akhir kekuasaannya di tahun 2011, pangkat tertinggi yang disandang Ghadaffi adalah kolonel sehinga dunia pun mengenalnya sebagai Kolonel Ghadaffi.

Pangkat abadi yang dimiliki Ghadaffi sangat terkait dengan sejarah "perjuangannya" untuk menjadi pemimpin tertinggi Libya. Pada 1 September 1969, Gahdaffi dan beberapa rekannya di militer Libya melakukan kudeta berdarah, menggulingkan Raja Idris yang saat itu berkuasa. Di bawah pimpinannya, para militer yang memberontak itu lantas menghapuskan Kerajaan Libya, dan memproklamasikan berdirinya Republik Arab Libya.

Saat menjadi pemimpin Libya, Ghadaffi memperjuangkan ketidakadilan pengelolaan minyak yang dikuasai perusahaan-perusahaan Barat. Ia berani melawan Barat ketika ternyata eksploitasi minyak di negaranya pada tahun 1960-an dikuasai oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Mereka inilah yang menentukan harga sesuai dengan kebutuhan konsumen di dalam negeri mereka masing-masing. Selain itu mereka menikmati setengah dari pendapatan.

Gaddafi menuntut perundingan ulang kontrak-kontrak tersebut dan mengancam akan menutup produksi jika perusahaan-perusahaan itu menolak. Gertakan Ghadaffi ini berhasil dan Libya menjadi negara berkembang pertama yang mendapatkan bagian mayoritas dari pendapatan produksi minyak di negaranya. Negara-negara lain kemudian mengikuti preseden ini dan pada tahun 1970-an boom minyak Arab dimulai.

Kembali ke soal pangkat kolonelnya, ada pernyataan menarik dari Ghadaffi setelah kudeta yang dilakukannya pada 1969. Ghadaffi mengatakan bahwa ia ingin menghindarkan perilaku sok pamer di antara para jenderal sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para jenderal semasa Libya berbentuk kerajaan.

Karena itu, meski Persatuan Sosialis Arab (PSA) pernah memberinya gelar mayor jenderal dalam sebuah kongres PSA pada Januari 1976 dan menerima gelar tersebut, namun secara resmi ia tak akan memakai pangkat mayor jenderal itu.

"Saya akan pertahankan titel kolonel karena titel itu telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari nama saya," kata Ghadaffi itu. Kebiasaannya yang mengenakan baju safari dan kacamata hitam (sehingga sempat dijuluki "Che Guevara"-nya Libya) makin memperkuat citranya sebagai kolonel. Karena itu, rakyat Libya dan bahkan masyarakat dunia memanggil Ghadafi sebagai Kolonel Ghadafi. Kolonel seakan-akan sudah merupakan satu kesatuan dengan namanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun