Pemilihan umum (Pemilu) serentak mulai mendekati masa akhir menjelang pencoblosan 14 Februari 2024. Berbagai baliho, flyer dan spanduk bertebaran di sepanjang pinggir jalan dan tempat-tempat terbuka yang menampilkan wajah kontenstan Pemilu 2024 baik pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres) ataupun calon legislatif (caleg) pusat dan daerah.
Semua mereka yang tampil di kontestasi Pemilu 2024 tersebut melemparkan bermacam janji ke masyarakat untuk memikat para pemilihnya. Masyarakat pun pada akhirnya dibuat terpukau oleh janji-janji manis para kontestan.
Nah, di sinilah tantangan yang sesungguhnya muncul supaya masyarakat tidak terpukau begitu saja. Masyarakat harusdidorong untuk dapat bersikap kritis terhadap janji-janji yang ditawarkan. Bukan hanya janji-janji capres/cawapres, tetapi juga caleg.
Selama ini masyarakat kebanyakan hanya memperhatikan janji-janji capres/cawarpes, padahal yang juga harus dikritisi janji-janji caleg pusat dan daerah karena banyak caleg yang asal bicara.
Para caleg-caleg perlu dikritisi karena merekalah yang nantinya akan memiliki peran penting ketika duduk di parlemen, khususnya dalam pembuatan regulasi dan pengawasan kinerja pemerintah.
Banyak caleg-caleg yang hanya mengobral janji, namun keberhasilannya sulit diukur. Beberapa contoh janji yang bisa dikritisi antara lain adalah janji untuk memberikan tunjangan bagi pengangguran dari pemerintah. Bagaimana ceritanya pengangguran dapat tunjangan, ketika tunjangan PNS yang memang benar-benar bekerja saja masih kalah jauh dengan tunjangan anggota legislatif.
Contoh lain adalah janji untuk memberikan BPJS gratis. Janji ini bisa dikritisi mengenai bagaimana mekanisme penanggarannya dan pelayanan yang akan diberikan. Karena saat ini saja, ketika masyarakat masih harus membayar BPJS, masih banyak dijumpai keluhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Caleg perlu juga dikritisi karena perilaku anggota legislatif selama ini menunjukkan hal-hal yang negatif. Caleg itu, jangankan sama rakyat, sama temennya sendiri saja suka tidak kenal ketika sudah berada di kursi parlemen. Jadi boro-boro dekat dengan rakyat yang hanya ditemui 5 tahun sekali.
Oleh karena itu, masyarakat pemilih harus benar-benar mencari tahu kompetensi caleg dan kemampuannya dalam melakukan pekerjaan dan tanggungjawabnya saat nanti mereka duduk di parlemen. Mayarakat harus tahu kapasitas seorang caleg bisa melakukan apa, akan melakukan apa dan bagaimana melakukannya.
Tanpa sikap kritis dalam memilih caleg pusat dan daerah, maka jangan harap akan didapat anggota legislatif yang baik, yaitu mereka yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan hanya mewakili kepentingan partai atau kelompoknya.