Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gile Lu Ndro

9 Oktober 2020   06:06 Diperbarui: 9 Oktober 2020   08:06 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Gile lu ndro,” begitu ucapan Kasino yang sering kita dengar dalam film-film Warkop DKI untuk meledek rekannya Indro. Pengucapan kata “Gile lu” dengan logat Jawa yang kental tersebut dapat diartikan sebagai “gila kamu”.

Mirip dengan kata “gile”, ada sebuah kata yang saat ini sedang tren dalam perbincangan yaitu “agile” (pengucapan Inggris: ejel). Banyak perusahaan atau lembaga yang menggunakan kata “agile” supaya tidak ketinggalan tren, termasuk di lingkungan RT saya.

Dalam suatu pertemuan RT,  kata “agile” muncul dan menjadi salah satu kata yang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam draf catatan pertemuan.

“Pertemuan sepakat bahwa semua warga bertindak holistik, agile dan proaktif,” begitu kalimat yang muncul dalam salah satu butir usulan catatan pertemuan.

Ketika saya menanyakan tentang arti kata “agile”, si pengusul kata hanya tersenyum dan dengan lirih berujar “ehmm … apa ya?”

Jawaban lirih tersebut hanyalah salah satu contoh bagaimana bertebarannya penggunaan kosakata yang berasal dari bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari, baik lisan ataupun tertulis.

Sebenarnya tidak ada larangan untuk menggunakan kosakata asing, apalagi dalam bahasa ngeblog, namun sebaiknya kita mengetahui apa padanan kosakata tersebut dalam bahasa Indonesia agar tepat penggunaannya dalam komunikasi. Dengan mengetahui padanan katanya, kita juga mengidentifikasikan jari diri sebagai penutur asli bahasa Indonesia.

“Wah kamu kok malah reviu penggunaan kata asing seperti "agile",” tanya teman saya dalam sebuah obrolan di group Whatsapp.  

Reviu?, iya benar, teman saya menuliskan kata “reviu” bukan “review” dalam Bahasa Inggris.

“Ehm … teman saya ini mungkin tengah mempraktikkan penyerapan bahasa asing ke bahasa Indonesia, maklum dia sering berinteraksi dengan orang asing dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris,” pikir saya sambil menghubungkan ke tulisan Ivan Lanin dalam bukunya “Recehan bahasa” (Penerbit Qatuita, Juli 2020) yaitu “Bahasa tidak muncul dari ketiadaan. Kata muncul dari interaksi sehari-hari antar manusia yang membentuk sebuah sistem komunikasi yang disepakati bersama. Inilah yang disebut bahasa”.

Ditambahkan pula oleh Ivan Lanin “Tak jarang, istilah-istilah yangt kita sepelekan menjadi salah satu tonggak perkembangan bahasa. Misalnya, kata segede gaban, alay dan ambyar memunculkan citra yang melambangkan sebuah generasi tertentu”.

Merujuk pandangan Ivan Lanin, maka saya menyimpulkan bahwa penulisan kata “reviu” ataupun kemunculan kata “agile” tidak terlepas dari interaksi sehari-hari antar manusia. Interaksi yang antara lain memunculkan  penyerapan dalam bahasa yaitu pengambilan unsur dari suatu bahasa asing ke dalam bahasa lain untuk dibakukan dan digunakan secara resmi oleh pemakai bahasa tersebut. Fungsi penyerapan bahasa asing adalah untuk memperkaya khazanah kosakata suatu bahasa (misalnya dari bahasa asing ke bahasa Indonesia) agar menjadi lebih beragam.

“Apakah kamu tahu bahwa dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk penyerapan antara lain penerjemahan langsung misalnya “merger” menjadi “gabung usaha” atau “supermarket” menjadi “pasar swalayan,” tanya saya sekaligus menjelaskan.  

“Apakah kamu tahu bahwa penyerapan bisa pula dilakukan dengan penerjemahan dengan rekaan, misalnya “camera” menjadi “kamera” atau “microphone” menjadi “mikrofon,” tanya saya lebih lanjut.

“jadi review menjadi reviu merupakan penerjemahan dengan rekaan?,” bukannya menjawab pertanyaan, rekan saya malah balik bertanya.

“Kalau melihat pola kata “review” menjadi “reviu” maka hal tersebut merupakan penerjemahan dengan rekaan. Lebih tepatnya penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, mirip perubahan dari kata “file” menjadi “fail”,” jelas saya.

“Lalu kata “agile” sebenarnya penyerapan seperti apa?” tanya teman saya lagi

“menurut kamu bagaimana?.” saya balik bertanya

“ehm … mestinya sih penerjemahan langsung ya,” jawab teman saya tersebut

“kalau penerjemahan langsung, apa makna atau arti kata “agile” itu sendiri?,” tanya saya lagi

“Gile lu ndro … lihat sendiri aja deh di kamus,” jawab teman saya sambil ngeloyor pergi

Melihat teman saya ngeloyor tanpa menjawab pertanyaan, saya lantas teringat (lagi) akan apa yang ditulis Ivan Lanin di bukunya, tepatnya di halaman 116 “Sepintar apa pun seseorang berbahasa Inggris, kalau ditanya apa artinya “confused” pasti dia jawab bingung”.

Bekasi, 9 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun