"Menikmati coto Makassar bukan sekedar rasa di lidah  tetapi kita merasakan filosofi yang terkandung di dalamnya" kata rekan saya yang berasal dari Makassar
"Umumnya orang Makassar tidak mencampur potongan ketupat dengan coto di mangkuk seperti masyarakat di daerah lain,  melainkan di mulut.  Tentu ada tujuannya, yaitu agar cita rasa ketupat dan coto bertemu dan menyatu di rongga mulut,  bukan di  mangkuk" ujar rekan saya menjelaskan makna dibalik makan ketupat dan coto. Â
"Wah jadi tidak sesuai dengan pepatah yang mengatakan asam di gunung garam di laut bertemu di belanga dong" ujar saya
"Ha ha ha iya,  belanganya adalah rongga mulut itu sendiri,  bukan  mangkok. Rongga mulut adalah tempat yang sempurna untuk memadukan kenikmatan kuliner apapun" jawab rekan saya agak serius
"Coba kalau mulut kita sedang tidak enak atau sakit, Â maka seenak dan sebagus apapun sajian sebuah kuliner tidak akan ada rasanya di mulut, " jelasnya lebih lanjut
"Benar sekali, Â ternyata kuliner garis keras itu nikmat juga ya dan ada nilai-nilai yang bisa digali, tentang kebersamaan dan perpaduan cita rasa" jawab saya sambil menyuap kuah dan daging coto ke mulut, Â menyusul potongan ketupat yang sudah menanti di rongga mulut
"Jadi seperti bangsa kita  yang terdiri dari beragam suku bangsa dan bersatu menjadi satu bangsa,  bangsa Indonesia, " saut rekan saya yang satunya,  yang dari tadi asyik mengunyah buras. Â
"Benar sekali," jawab kami berdua bersamaan
"Jadi mari kita rayakan persatuan dan kesatuan dengan terlebih dahulu menikmati coto Makassar ini. Â Besok-besok kita coba kuliner khas lainnya," seru sayaÂ
"Setuju"Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H