Sambil melamuri daging dengan bumbu dan rempah-rempah yang baru selesai saya buat, saya menjelasan bahwa bumbu yang sudah dihaluskan kemudian dilumuri ke daging sapi yang sudah dipotong berbentuk segi empat dan kemudian didiamkan selama sekitar 30 menit agar bumbunya meresap ke daging.
"Penggunaan bumbu dan rempah-rempah dimaksudkan agar daging sate terasa lebih nikmat dan empuk karena bumbu dan rempahnya meresap ke daging. Bukan hanya itu, agar daging lebih empuk dan tahan lama, setelah dilumuri bumbu dan rempah-rempat maka daging dibungkus dengan daun pepaya dan disimpan selama beberapa jam," jelas saya lebih lanjut sambil menusuk potongan-potongan daging ke tusukan sate yang terbuat dari lidi
"Kalau di tempat saya, daging sate ditusuk pakai kawat besi. Soalnya tidak ada pohon bambu di Kroasia ... ha ha ha ," canda Dobravko
"Ha ha ha .." kali ini saya dan Nguyen yang tertawa bersamaan
"Sate yang diberi bumbu dan rempah-rempah sebelum dibakar ini dari daerah mana?" tanya Dobravko kemudian.
"Sate yang kita makan kali ini berasal dari daerah Purwakarta, Jawa Barat. Namanya sate maranggi," jawab saya
"Lalu kenapa diberi nama sate maranggi?" tanya Dobravko
"Saya tidak tahu persis sejarahnya kenapa diberi nama sate maranggi. Tapi setahu saya, diberikan nama demikian karena dulu sate ini pertama kali dipopulerkan oleh pedagang sate yang bernama Mak Ranggi di Purwakarta."
"Ia melumuri daging satenya dengan bumbu dari rempah-rempah agar daging terasa enak dan tidak cepat busuk. Maklum, saat itu teknik penyimpanan daging belum begitu baik, daging yang dibiarkan terbuka agak lama bisa cepat busuk. Kalau busuk tentu saja satenya tidak akan laku, apalagi daging kan harganya mahal," jelas saya.
Dobravka dan Nguyen terlihat mengangguk-angguk mendengar penjelasan saya. Saya tentu saja senang, setidaknya saya bisa ikut membantu diplomasi kuliner yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui kursus memasak singkat ini.
Saya melihat bahwa diplomasi dari dapur ini bisa jadi merupakan pendekatan yang cukup jitu dengan menggunakan bahasa yang sama yaitu makanan. Makanan adalah bahasa universal yang dapat menghubungkan setiap orang karena setiap orang harus makan.
Melalui makanan. kita bukan hanya belajar membuat makanan tetapi juga belajar tentang kehidupan masyarakat dan tradisinya, termasuk belanja bahan makanan di pasar, mengunjungi petani dan makan bersama. Semua hal ini tentu saja bisa menjadi pengalaman yang sangat berharga dan dapat meningkatkan hubungan emosional dari peserta untuk lebih mengenal Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H