[caption id="attachment_92373" align="aligncenter" width="680" caption="Menteri Luar Negeri RI, Dr. R.M. Marty M. Natalegawa, melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya di Jakarta/Admin (kemlu.go.id)"][/caption]
Menyusul baku tembak yang terjadi antara tentara Thailand dan Kamboja di perbatasan kedua negara pada tanggal 4-6 Februari lalu, yang menewaskan sedikitnya 8 orang dan mencederai beberapa orang lainnya, pada hari ini (22/02) di Jakarta digelar Informal ASEAN Foreign Minister’s Meeting (pertemuan informal para Menlu ASEAN) dengan agenda tunggal pembahasan penyelesaian konflik Thailand dan Kamboja.
Pertemuan informal para Menlu ASEAN kali ini, yang diprakarsai Indonesia selaku Ketua ASEAN, merupakan tindak lanjut dari hasil sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang meminta Thailand dan Kamboja bekerjasama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai.
[caption id="attachment_91239" align="alignleft" width="300" caption="Tempat pertemuan di Gedung Pancasila"]
Ditengah upaya negara-negara ASEAN mengimplementasikan kesepakatan yang tercantum dalam Piagam ASEAN dan proses pembentukan Komunitas ASEAN 2015, pertemuan informal para Menlu ASEAN kali ini memiliki arti yang sangat penting sebagai sebagai langkah awal untuk memperlihatkan kredibilitas ASEAN dalam menangani masalah internal kawasannya. Konflik Internal ASEAN
Sebagai suatu organisasi kerjasama regional, ASEAN yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand, terus tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi yang semakin solid. Dari suatu organisasi yang longgar, ASEAN tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang berdasarkan hukum seperti tercermnin dari diratifikasinya Piagam ASEAN pada akhir tahun 2008.
Selain Piagam ASEAN, negara-negara ASEAN juga memiliki Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang ditandatangani di Bali tahun 1976. Melalui Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama negara anggota ASEAN menyepakati code of conduct atau aturan perilaku dalam pelaksanaan hubungan kerjasama antar negara anggota ASEAN yang meninggalkan kekerasan dan mengedepankan cara-cara damai dalam penyelesaian konflik di antara mereka.
Sayangnya, Piagam ASEAN dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama belum pernah sekalipun digunakan untuk menyelesaikan konflik antar negara-negara ASEAN. Bukan karena tidak ada konflik di negara-negara ASEAN, melainkan karena masih rendahnya rasa saling percaya di antara negara anggota. Negara-negara ASEAN yang bekonflik lebih memilih penyelesaian secara bilateral atau menyerahkan penyelesaian persoalan kepada lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag.
Pada tahun 1996, ketika Indonesia dan Malaysia bersengketa mengenai masalah perbatasan di Sipadan dan Ligitan, keduanya membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Internasional. Sementara itu Filipina yang ditahun 1990-an tengah berupaya menyelesaikan konflik di Mindanao Selatan, pihak yang diundang untuk menyelesaikan adalah Organisasi Konperensi Islam (OKI). Langkah Indonesia, Malaysia dan Filipina yang melibatkan lembaga internasional dalam penyelesaian konflik pada akhrnya diikuti pula oleh Kamboja. Bahkan Kamboja tidak perlu waktu lama unuk segera meminta bantuan DK PBB di New York.
Langkah cepat Kamboja melaporkan permasalahan perbatasannya ke DK PBB tentu saja memunculkan kekhawatiran bahwa penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja akan diselesaikan atas bantuan pihak eksternal di luar ASEAN. Kalau sampai DK PBB mengabulkan permintaan Kamboja agar PBB membantu penyelesaian konflik perbatasannya dengan Thailand, maka muka ASEAN akan tercoreng dan keberadaan ASEAN kembali dipertanyakan. Bagaimana mungkin ASEAN bisa berperan di forum global seperti yang tercermin dalam tema ASEAN 2011 “ASEAN Community in a Global Community of Nations”, jika mengelola konflik internal saja tidak berhasil.
Peran ASEAN dan Indonesia