Hari ini bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah 1431 H (Rabu, 17 November 2010) sebagian besar umat Islam di Indonesia merayakan hari raya Iedul Adha atau yang biasa dikenal sebagai hari raya kurban atau hari raya haji. Kenapa saya katakan sebagian besar? Karena sebagian lainnya sudah merayakan dan melaksanakan sholat Iedul Adha sehari lebih cepat (Selasa, 16 November 2010). Tidak ada yang salah dengan perbedaan penetapan waktu Iedul Adha. Bahwa hampir setiap tahun umat Islam di Indonesia dihadapkan pada perbedaan penentuan hari raya Iedul Adha juga bukanlah masalah yang mesti diributkan. Saya yakin masing-masing pihak telah berijtihad dengan mendasarkan pada perhitungan dan dalil-dalil yang kuat. Hal lain yang juga menarik setiap menjelang hari raya kurban adalah munculnya sejumlah pertanyaan terkait perlunya menyembelih hewan kurban setiap tahunnya? Ada seorang rekan saya bertanya di sebuah milis, kalau misalnya saya seorang pedagang yang sedang memiliki hutang, apakah saya mesti terlebih dahulu membeli hewan kurban untuk kemudian disembelih dan dibagikan ke masyarakat yang tidak mampu atau saya mesti membayar hutang-hutang saya? Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, sebagian besar ulama berpandangan bahwa berkurban merupakan salah satu perintah Allah SWT kepada hambanya yang mampu untuk berkurban dan hukumnya sunnah yang sangat ditekankan dan makruh ditinggalkan bagi yang mampu melaksanakannya. Pelaksanaannya pun tidk sembarang waktu, melainkan telah ditetapkan yaitu sesudah dilaksanakannya Sholat Iedul Adha. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang berbunyi “Barang siapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum dia (Imam) melakukan shalat atau sebelum kami melakukan shalat maka hendaknya dia menyembelih sembelihan lain sebagai gantinya, dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaknya dia menyembelih dengan membaca ‘bismillah’”. (HR. Muslim). Jika pendapat ulama sudah cukup jelas, maka semestinya tidak ada alasan lagi untuk bersikap ragu dalam memaknai ibadah kurban. Mengutip pernyataan Prof. Dr. Thaufic Boesoire, Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, “ibadah kurban tidak hanya mengingatkan perlunya berkorban harta, waktu, dan pikiran saja, akan tetapi juga mengurangi rasa egoisme yang tega mengorbankan orang lain, serta berkorban untuk menahan diri dari sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai sutau tujuan, yang secara sadar maupun tidak sadar, telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat kita”. Jadi tunggu apa lagi, tidak ada alasan bagi yang mampu untuk tidak berkurban. Jika masih ragu, maka kita masih perlu belajar pada seorang Yuk Timah yang mampu mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan Nabi Ibrahim dengan caranya sendiri. Meski miskin dan tidak diwajibkan untuk berkurban, Yuk Timah dengan tekun menyisihkan sebagian pendapatan yang diperolehnya setiap hari sebagai seorang buruh. Ketika uang yang dikumpulkannya sudah mencukupi, Yuk Timah pun langsung menggunakannya untuk membeli hewan kurban. Jika merasa berat untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar sekaligus, kita bisa meniru cara Yuk Timah. Caranya kita bisa mulai menyisihkan uang setiap harinya, misalnya Rp. 5.000,- (bagi perokok angka ini mungkin hanya setara dengan sebatang rokok). Tempatkan uang tersebut dalam celengan tanah atau kaleng (tidak perlu harus ke Bank karena akan merepotkan). Jauhkan dari godaan mengambil uang tersebut untuk kepentingan konsumtif (biasanya godaan datang saat uang yang dikumpulkan sudah mulai terlihat banyak). Kalau cara ini dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan konsisten, maka dalam setahun (sekitar 355 hari dalam tahun Islam) akan didapatkan uang sebesar 355 X Rp. 5.000,- = Rp. 1.775.000,-. Cukup untuk mendapatkan seekor kambing/domba berukuran super dengan berat hampir 40 kg. Selamat berhari raya kurban, semoga keikhlasan kita dalam berkurban diterima Allah SWT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H