[caption id="attachment_327561" align="aligncenter" width="632" caption="Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2565 di Jakarta Convention Center, Jumat (7/2/2014). | Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan keputusan yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, yang pada pokoknya mengganti penggunaan istilah “Tjina” dengan istilah “Tionghoa/Tiongkok”.
Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa penyebutan istilah “Tjina/Cina” dalam surat edaran tersebut telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang dialami warga bangsa Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau rastertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia. Dan karenanya pula, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Lebih lanjut dipertimbangkan pula bahwa dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok maka dipandang perlu untuk memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara People’s Republic of China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Akhirnya dengan berlakunya Keppres tersebut, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/Cina/China diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Seperti biasa, setiap pemerintah mengeluarkan keputusan selalu saja ada pro dan kontra. Terkadang, tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu mengenai latar belakang dan alasan pengambilan keputusan, langsung menyerang dan dengan mudahnya melakukan penyederhanaan masalah.
Beberapa orang mempertanyakan apa perlunya pemerintah mengeluarkan Keppres untuk mengatur penyebutan istilah “Cina” menjadi “Tionghoa” dan “Tiongkok". Beberapa orang lainnya yang bahkan tidak bisa membedakan penggunaan istilah “Tionghoa” dengan “Tiongkok”, sehingga keliru menerjemahkan kata “Made in China” menjadi “Buatan Tionghoa”, pun menganggap Pemerintah kurang kerjaan mengatur-atur penggunaan istilah “Tjina” dengan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok”, bukankah lebih gampang menggunakan istilah “China” (dengan huruf H antara C dan I) seperti lazimnya digunakan dalam bahasa Inggris. Sebagian yang lainnya lagi berupaya mengaitkannya dengan politik praktis dengan mengatakan bahwa Keppres tersebut adalah sebagai upaya kebablasan untuk mencari dukungan dalam pemilu.
Benarkah permasalahannya sesederhana seperti yang mereka-mereka katakan dan lebih bernuansa politis?
“Soal itu (penyebutan Tiongkok sebagai negeri dan Tionghoa sebagai salah satu etnis) tampaknya sederhana, tapi tak sesederhana itu”, demikian dikatakan oleh A. Dahana, seorang Dosen di Universitas Indonesia dan Pengamat Tiongkok dalam tulisannya di majalah Tempo edisi akhir Januari 2014. Menurut Dahana, ada semacam kerepotan yang mesti dihadapi dan selalu muncul perdebatan yang tak berkesudahan saat membicarakan istilah “Tiongkok”, “Cina” dan “Tionghoa”. Terlebih Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 yang mengimbau untuk menggunakan istilah “Cina” dan meninggalkan istilah ‘Tiongkok’ dan ‘Tionghoa’, tidak menyebutkan apa dasarnya.
Saya mengamini pendapat Dahana bahwa masalahnya memang tidak sesederhana itu. Saya melihat memang ada kerepotan dan kebutuhan untuk menggunakan istilah yang tepat berdasarkan makna dan sejarahnya.
Pengalaman saya setiap kali mendampingi delegasi dari Jakarta dalam pertemuan di Beijing atau kota-kota lain di Tiongkok, terlihat mereka kerap kebingungan dan kerepotan saat harus memilih istilah “Cina”, “China” atau “Tiongkok” ketika akan menyampaikan pernyataan dalam bahasa Indonesia. Pejabat Indonesia yang tidak tahu sama sekali mengenai perdebatan istilah-istilah tersebut, biasanya dengan lempeng akan menyebut “Cina”, sementara yang tahu sedikit-sedikit melakukan campur aduk penggunaan ketiga istilah tersebut seingatnya. Untungnya, ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, istilah“Cina/China” dan “Tiongkok” diterjemahkan ke dalam kata yang sama yaitu “Cung Kuo”. Sementara istilah “Tionghoa” diterjemahkan menjadi “Chung Hwa”.
Dari sini saya melihat bahwa munculnya perdebatan penggunaan istilah “Tjina/Cina/China”, “Tionghoa” dan “Tiongkok” sebenarnya tidak terlepas dari tidak adanya sosialisasi mengenai asal usul penggunaan istilah tersebut. Coba saja tanyakan berapa banyak orang yang tahu mengenai riwayat munculnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera yang menganjurkan penggunaan istilah “Cina” menggantikan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok”?. Beberapa media arus utama yang sering dijadikan acuan dalam penulisan pun tidak kompak dalam memilih istilah yang digunakan. Majalah Tempo misalnya, lebih memilih istilah “Cina” saat menyebut Dahana sebagai seorang “Pengamat Cina”. Sedangkan media lain cenderung mengadopsi mentah-mentah istilah “China” yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris.
Di kantor-kantor pemerintahan pun, hanya Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI yang konsisten menggunakan istilah “Tiongkok” bagi penyebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok dalam setiap surat dan laporannya. Bahkan ketika Perwakilan RI ikut mendorong pendirian organisasi kemasyarakat/kemahasiswaan, secara konsisten mereka menyarankan pencantuman istilah “Tiongkok” dibanding istilah “Cina”. Hal ini tampak antara lain saat mendorong pembentukan organisasi pelajar/mahasiswa Indonesia tingkat nasional di RRT yang diberi nama Persatuan pelajar Indonesia di Tiongkok bukan Persatuan Pelajar Indonesia di China.
Adapun penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” di kementerian lainnya biasanya tergantung siapa konseptor surat atau laporannya, sehingga tidak mengherankan jika suatu saat muncul istilah “Cina/China” dalam penyebutan Negara Republik Rakyat Cina/China, di saat lain memakai istilah “Tiongkok”.
Dari sejarahnya, pemakaian kembali istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal yang tiba-tiba. Penggunaan istilah-istilah tersebut sudah muncul sejak sekitar akhir abad ke-19 dimana istilah Tiongkok diambil dari terjemahan istilah “Chung Kuo”. Sedangkan istilah “Tionghoa” dipengaruhi oleh gerakan Sun Yat Sen untuk meruntuhkan dinasti Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah “Tionghoa”, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin “Chung Hwa”, dan menolak disebut “Cina”.
Selanjutnya di era pergerakan pemuda Indonesia tahun 1928, para tokoh pergerakan yang merasa "berhutang budi" kepada masyarakat Tionghoa, karena tulisan-tulisan mereka banyak dimuat koran-koran milik orang Tionghoa tersebut seperti Koran Sin Po, sepakat untuk mengganti sebutan “Cina” dengan “Tionghoa” dan “Tiongkok”.
Koran Sin Po sendiri adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Pengakuan peran orang Tionghoa pun diakui sehingga dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah “Tionghoa”, bukan “Cina”. Sejak itu istilah "Tionghoa" digunakan bersama sebagai padanan istilah "Cina" yang sudah populer lebih dahulu.
Penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” terhenti ketika Pemerintahan Presiden Soekarno tumbang digantikan Pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto melakukang larangan secara tak resmi menghapus memori penggunaan istilah “Tionghoa” karena diperkirakan terkait dengan partai komunis.
Meletusnya pemberontakan G-30-S/PKIpada tahun 1965 dan kecurigaan RRT (saat itu merupakan singkatan dari Republik Rakyat Tiongkok bukan Republik Rakyat Tjina) membuat Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat masyarakat Tionghoa dilakukan di Indonesia, pengubahan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” kembali menjadi “Cina” dan mengubah singkatan RRT menjadi RRC (Republik Rakyat Cina), serta menyebut Taiwan dengan nama Republik Cina (Republic of China).
Pada tahun 1967 itu juga dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 mengenai anjuran agar WNI keturunan yang masih menggunakan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi.
Dalam perkembangannya, penyebutan istilah “Cina” selain memunculkan pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau rastertentu, istilah tersebut juga memiliki konotasi negatif yang terkait perilaku masyarakat keturunan yang berasal dari etnis Tionghoa.
Tidak mengherankan jika saat Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden RI ke-4, salah satu kebijakan utamanya adalah mencabut kebijakan diskriminatif yang tercantum dalam Inpres Nomor 14 tahun 1967 dan diganti dengan Keppres 6 Tahun 2000. Dan sejak saat itu pula segala kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat masyarakat Tionghoa dapat berjalan kembali. Sayangnya saat itu Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera SE-06/Pred.Kab/6/1967 belum sempat dicabut dan baru dicabut 14 tahun kemudian melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2014 seperti disebutkan pada awal tulisan ini.
Jadi meski Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera yang sudah berusia 47 tahun baru dicabut pada tahun 2014 dan terkesan agak terlambat, namun penerbitan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 sudah tepat karena mengembalikan penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” pada khitahnya.
Dalam konteks hubungan diplomatik RI-RRT pun, penerbitan Keppres tersebut juga sudah sesuai karena sejalan dengan bunyi pengakuan kedaulatan yang disampaikan Pemerintah RI saat pertama kali Negara RRT terbentuk pada tahun 1949. Dalam pengakuan kedaulatan tersebut Pemerintah RI menyebutkan kata “Tiongkok” untuk merujuk negara dan bukan kata “Cina/China”.
Lalu bagaimana nasib penggunaan kata “China” dan “Cina” seperti yang dikenal selama ini setelah terbitnya Keppres Nomor 12 tahun 2014 ? Apakah penyebutan “Laut China Selatan” akan diganti menjadi “Laut Tiongkok Selatan”, “Pondok Cina” menjadi “Pondok Tiongkok/Tionghoa”, “Bidaracina” menjadi “Bidarationgkok”, “Petai Cina” menjadi “Petai Tiongkok”?
Saya kira kita tidak perlu menjadi alay dengan merubah semua penggunaan kata-kata “China” dan “Cina” menjadi “Tiongkok” atau “Tionghoa”. Biarlah semua penamaan itu seperti apa adanya, seperti kita menyebut “Thailand” dan tidak menggantinya dengan “Tanah orang Thai” atau seperti kita menyebut kota “New York” dan “New Delhi” dan tidak menggantinya dengan “York Baru” atau “Delhi Baru”.
Salam dari Beijing, Tiongkok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H