Pertama saya mohon maaf kalau gaya berpakaian dan berfoto saya mirip salah satu capres ketika mengunjungi petani di salah satu desa di Indonesia. Mohon maaf juga jika gara-gara saya niru gaya berpakaian beliau, kemudian beliau berganti motif pakaiannya, kembali ke kotak-kotak (hahahaha Ge Er banget ya saya ini). Baiklah, tanpa berpanjang lebar, perkenankan saya berbagi cerita mengenai kunjungan saya ke kawasan pertanian di salah satu kota di Tiongkok. Semoga bermanfaat. Tanggal 26-27 Mei 2014 lalu untuk kesekian kalinya saya berkunjung ke Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, yang terletak di barat daya Tiongkok atau sekitar 2 jam 40 menit penerbangan dari Beijing. Kunjungan kali ini dilakukan bersama dengan KPH Haryo Wiroguno dari Yogyakarta, Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo dan beberapa pengusaha Indonesia untuk melaksanakan promosi pertanian dan peninjauan ke distrik Chenzhou guna melihat pengelolaan pertanian modern yang dilakukan para petani di Chengdu. Dipilihnya Chengdu sebagai daerah kunjungan tidak terlepas dari peran penting kota tersebut dalam pengembangan industri pertanian terbesar di Tiongkok. Di kota yang terkenal dengan pandanya ini dikembangkan antara lain tanaman padi, sayur-sayuran, buah-buahan, ternak, teh hijau, jamur, tanaman herbal, ikan air tawar dan bambu. Selain itu, dikembangkan pula pertanian berwawasan lingkungan (eco-agriculture), dan wisata pertanian. Di Chenzhou saya kembali bertemu Luo Dong, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahunan. Dari penampilannya, Luo terlihat tidak berbeda dengan para pemuda seusianya yang bergaya modis dengan celana jins dan jaket melekat di tubuh. Yang membedakan adalah profesinya sebagai petani. Bukan hanya itu, ia pun adalah adalah seoang ketua kelompok tani yang dipilih dari sekitar puluhan petani yang ada di kelompoknya. Di tengah pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi Tiongkok yang sedemikian pesat dan mendorong kaum muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota-kota besar, pilihan Luo untuk berprofesi sebagai petani tentu saja menarik. Ketika pertama kali bertemu dengan Luo pada sekitar Nopember 2013, saya sempat menanyakan alasannya untuk menjadi petani dan tidak bekerja di kota seperti kebanyakan pemuda lainnya, jawabannya sederhana saja “saya lulusan sekolah pertanian, jadi saya mesti menerapkan pengetahuan yang didapat selama sekolah. Lagi pula, kalau saya ikut arus bekerja di kota, terus siapa yang akan mengurus lahan pertanian di desa, Orang tua saya sudah semakin tua” “Tidak merasa malu dan gengsi harus terjun ke sawah dan belepotan lumpur” “Kenapa mesti malu, dengan bertani saya juga bisa mendapatkan penghasilan yang layak dan besarnya tidak kalah dengan pendapatan atau gaji yang diterima teman-teman saya yang bekerja di kota besar” “Memangnya berapa luas lahan yang dikelola dan berapa besar pendapatan yang dihasilkan?” “Kelompok tani saya memiliki sekitar 100 hektar sawah dengan tingkat produksi sekitar 12-15 ton per hektar per musim tanam dan dalam setahun bisa dua kali musim tanam. Dengan asumsi rata-rata produksi 12 ton per hektar saja, akan diperoleh sekitar 12 kwintal per musim tanam. Jika satu ton dijual dengan harga sekitar 2400 renminbi maka akan didapat sekitar 2.88 juta renmibi atau Rp. 5.7 milyar. Setelah dikurangi biaya produksi, upah pekerja dan sewa lahan, cukup lah untuk dibagi ke seluruh anggota sesuai dengan porsinya masing-masing”. “Ya kami memang mendorong pengelolaan pertanian secara modern dengan antara lain mendorong otomatisasi dan mekanisasi peralatan pertanian sehingga produksi pertanian tetap tinggi tanpa harus menggunakan tenaga kerja yang besar. Selain untuk meningkatkan produksi, mekanisasi pertanian juga penting guna mengatasi semakin minimnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian” ujar seorang anggota komisi pertanian Chengdu yang ikut mendampingi kunjungan kami.
Related Posts:
- Mengunjungi Peternakan di Mongolia
- Diplomasi Ondel-Ondel di Tiongkok
- Kunjungan ke Negeri Surga Chengdu
- Melongok Mobil Buatan Tiongkok di Auto China Show 2014
- Wisata Kota Tua Chengdu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H