Mohon tunggu...
Aris Giyanto
Aris Giyanto Mohon Tunggu... -

ARIS GIYANTO\r\nMAHASISWA TEKNIK INDUSTRI\r\nUNIVERSITAS MERCUBUANA JAKARTA\r\nANALIST QC PT ALKINDO MITRA RAYA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KAPAN NEGERI INI MAKMUR?

7 Agustus 2011   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:01 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika banyak ahli memprediksi ekonomi indonesia akan terus membaik dan bahkan akan menjadi salah satu yang berpengaruh di dunia 30 tahun yang akan datang, muncul berbagai pertanyaan dalam benak saya. Apakah itu berarti penduduk kita akan membaik kehidupanya? atau masih sama saja seperti sekarang, dimana kemewahan hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Lalu apa gunanya ekonomi membaik kalau hanya menaikan kehidupan sebagian dan menindas sebagian yang lain? Apakah kita benar-benar tidak memiliki kandidat pemimpin yang memperhatikan mereka yang tertindas?

Saya sempat tercengang ketika semalam saya dan 2 teman saya makan keluar di sebuah tempat makan yang nota bene dimiliki orang asing. Dalam hati saya berguman ramai bener tempat ini, jauh berbeda sekali dengan rumah makan lokal yang biasa-biasa saja. sebuah pertanyaan mengelitik saya, kenapa ya orang lebih seneng yang berbau asing dari pada produk lokal? Kemudian kami keluar karna sudah selesai, dan pemandangan baru terlihat di depan saya. Sebuah mobil mewah berkapasitas 2 orang terparkir di depan tempat makan tersebut. Teman saya nyletuk, di sini orang bisa beli mobil semewah ini, sementara di bagian lain di negara kita banyak orang yang hanya sekedar makan saja susah.

Sebuah kesenjangan yang begitu jauh menurut saya. Meskipun sebenarnya kita tidak boleh juga melarang orang unutk membeli sesuatu yang ia inginkan. Kalau mereka mampu ya silahkan saja. Akan tetapi saya juga berhak berkata, toh mereka yang miskin di pelosok sana juga tak mau lahir dalam keadaan miskin, mereka juga kalau disuruh milih pasti juga memilih tempat lahir yang ekonominya sudah cukup baik, memilih jadi orang yang berkecukupan. Toh mereka juga punya hak hidup yang layak yang dijamin UU. Lalu kenapa bisa terjadi hal semacam ini? Salah siapa ini?

Saya tak ingin mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi mari bersama coba kita melihat kediri kita masing-masing. Jika kita sudah berkecukupan, sudahkah kita berbagi dengan mereka yang kekurangan? Apakah cara kita memperoleh harta kita sudah benar? Namun jika kita berada pada posisi kekurangan, maka apakah kita sudah memaksimalkan potensi yang kita punya? Sudah lupakah kita bahwa apa yang kita miliki hari ini, pada hakikatnya hanyalah sebuah titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawabanya? karena melihat berbagai peristiwa di negeri ini, maka jika kita hanya sibuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar sepertinya itu hanya akan menghabiskan energi kita saja. Maling mana ada yang ngaku, kurang lebih begitulah.

Akan sangat indah sekali hidup ini jika masing-masing dari kita menyadari peran dan fungsinya masing-masing. Pemerintah bekerja sesuai dengan amanahnya, masyarakat menjadi masyarakat yang patuh hukum dan menghargai antar sesama. Aparat peradilan bekerja sungguh-sungguh mejaga dan menjujung tinggi keadilan, bukan sogokan. Mungkinkah mimpi ini akan terwujud? kehidupan yang damai dan jauh dari penderitaan dan sifat individualisme.

Kehidupan yang begitu indah itu bisa saja terwujud jika masing-masing dari kita bisa menjalankan agama kita masing-masing dengan baik, karena pada hakikatnya tak ada agama yang mengajarkan keburukan. Bukankah tujuan adanya agama itu sendiri adalah untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang adil dan jauh dari kesenjangan? Lalu kenapa kita setiap hari disibukan dengan kegiatan yang jauh dari agama? Kenapa kita hanya sibuk dididik untuk menjadi orang yang pinter agar kelak menjadi orang yang kaya raya? Kita tak pernah dididik untuk selalu berusaha menjalankan agama dengan baik. Mungkin banyak orang tua yang membiarkan anaknya tidak menjalankan perintah agama, tetapi akan sangat marah jika anaknya tidak belajar. meskipun tidak semuanya seperti itu.

Sistem itu telah ada tetapi manusia sendiri sibuk mencari dan menciptakan berbagai sistem baru yang menurutnya lebih baik dari sistem agama yang telah ada. Manusia yang kadang terlalu rakus dengan dunia sehingga menciptakan berbagai cara untuk mempertahankan kedudukan dan kekayaanya, walau harus menindas yang lemah. Kapankah kita sadar dengan keadaan ini? Atau mungkin selamanya negara kita akan terus dikuasai orang-orang yang mementingkan dirinya dan koleganya, sehingga penindasan ini tak akan pernah berakhir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun