Beberapa waktu yang lalu, dunia pendidikan Indonesia diramaikan dengan pro kontra masalah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud tersebut telah kita ketahui bersama menetapkan waktu kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung lima hari dari Senin hingga Jumat, dengan alokasi waktu 8 jam setiap harinya, yang dalam rencana sebelumnya akan diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018 saat ini.
Namun, setelah memperhatikan aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, termasuk ormas-ormas Islam di dalamnya, Presiden Joko Widodo membatalkan Permendikbud tersebut. Sebagaimana pernyataan Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi, yang dikutip oleh Kompas.com (19/6/2017) menyatakan bahwa "Permen tersebut tidak akan diberlakukan". "Yang pasti nanti bukan dalam bentuk permen lagi", tambah Johan Budi.
Setelah membatalkan Permendikbud yang banyak menimbulkan penolakan ini, Presiden Joko Widodo akan melakukan evaluasi dan menata ulang kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Terlepas dari bagaimana hasil Peraturan Presiden yang saat ini rancangannya sedang disiapkan, apakah akan tetap mengadopsi kebijakan sekolah 8 jam setiap harinya selama 5 hari, melalui tulisan ini, pertama saya ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden Joko Widodo atas sikap responsif beliau dalam memperhatikan aspirasi dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat yang tidak lain bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan nasional negara tercinta ini.
Selanjutnya, di masa-masa proses berlangsungnya evaluasi dan penataan ulang Permendikbud tentang hari sekolah saat ini, ada sebuah harapan besar saya terhadap proses evaluasi dan penataan ulang tersebut, sekiranya dapat menghasilkan sebuah rancangan peraturan presiden yang berisi sebuah desain program penguatan pendidikan karakter yang dapat benar-benar berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional, khususnya dalam penguatan karakter para siswa, tanpa adanya penambahan waktu sekolah dalam setiap harinya.
Proses pendidikan yang dilakukan oleh pihak sekolah di Indonesia yang selama ini berlangsung antara 5 -- 6 jam setiap harinya, sebenarnya telah dianggap cukup untuk proses pendidikan karakter para siswa, yang telah didukung oleh proses pendidikan keluarga dan masyarakat selama berada di luar sekolah.Â
Tahapan pendidikan yang selama ini dilaksanakan di sekolah pun, yang dapat diklasifikasikan ke dalam kegiatan perencanaan/persiapan, proses, dan evaluasi, sudah terbilang tepat. Namun yang harus lebih mendapat perhatian khusus adalah pengoptimalan waktu dan tahapan yang ada. Dimana sekiranya waktu yang ada dapat dioptimalkan untuk melakukan sebuah upaya yang benar-benar seluruhnya berorientasi pada terwujudnya pendidikan yang komprehensif, yaitu pendidikan yang oleh Ki Hajar Dewantoro didefinisikan sebagai sebuah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Sebuah daya upaya yang tidak hanya sekedar transfer of knowledge(transfer pengetahuan), melainkan juga transfer of values(transfer nilai).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan waktu dan tahapan yang ada untuk mewujudkan pendidikan yang komprehensif, khususnya pendidikan karakter adalah dengan cara mengintegrasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai karakter di setiap tahapan pendidikan di sekolah, dari mulai perencanaan/persiapan, proses, sampai dengan tahap evaluasi.
Tahap Perncanaan/Persiapan
Dalam tahap perencanaan/persiapan ini, pengoptimalan harus diawali dari diri seorang pendidik itu sendiri. Seorang pendidik harus menyadari bahwa profesi yang dijalani itu adalah sebuah amanah besar dari negara untuk mencetak para generasi penerus yang berkarakter, sesuai dengan nilai-nilai karakter yang berlandaskan budaya bangsa yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), yaitu; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Sebelum menanamkan nilai-nilai karakter tersebut pada diri para siswa, terlebih dahulu seorang pendidik harus menginternalisasikan dan menanamkannya pada dirinya sendiri. Mustahil akan tertanam nilai religius pada diri para siswa, jika nilai tersebut belum tertanam pada diri seorang pendidiknya. Tidak mungkin seorang pendidik akan dapat mendidik siswanya menjadi seorang yang jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, dan lain sebagainya, apabila nilai-nilai tersebut tidak terdapat pada dirinya. Karena dia adalah teladan bagi para siswanya, sebagaimana Rasulullah SAW menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang pendidik dapat memberikan teladan yang baik bagi para siswanya, sejauh itu pula tingkat keberhasilan proses pendidikan yang dilakukannya. (Zakiah Darajat, Â 2012: 41).