Mudik adalah merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang merantau untuk pulang ke kampung halaman dalam rangka merayakan hari raya keagamaan, terutama hari raya Idul Fitri (lebaran) setiap tahunnya. Ritual ini sudah menjadi sebuah tradisi besar bangsa ini, dan seolah hampir menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh para perantau. Seakan terasa tidak sempurna apabila berlebaran tanpa mudik. Sehingga sebisa mungkin mereka dapat melakukan ritual mudik ini, walaupun harus berdesakan di dalam transportasi umum yang digunakan, dan berhadapan dengan kemacetan luar biasa yang disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan yang dipadati oleh para pemudik.
Berdasarkan data hasil evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang dirilis pada situs resminya menginformasikan bahwa data realisasi pemudik dari Posko Angkutan Lebaran Nasional Terpadu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terlihat mulai tahun 2012 jumlah pemudik sebanyak 22.069.278 orang, kemudian meningkat menjadi 22.144.610 orang pada tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2014 terjadi peningkatan kembali menjadi 23.088.908 orang, dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 23.395.367 orang.
Ritual mudik yang berlangsung tiap tahun ini selain merupakan sebuah tradisi besar, ia juga merupakan sebuah ritual yang mulia. Betapa tidak, ritual tersebut dilakukan setelah melewati masa dimana jiwa dan raga seseorang dibina siang dan malam selama satu bulan penuh dengan berbagai ibadah. Masa dimana di dalamnya penuh dengan rahmah (kasih sayang) dan maghfiroh (pengampunan) Allah SWT. Ramadhan disediakan Allah SWT sebagai momen pembelajaran untuk peningkatan kualitas kepribadian seseorang, sehingga memasuki Idul Fitri kondisi seseorang kembali kepada fitrah sebagai seorang hamba Allah SWT yang beriman dan bertakwa, menjadi pribadi yang berkualitas, dan layaknya seperti bayi yang baru terlahir dari rahim seorang ibu yang bersih dari noda dan dosa.
Kemudian, dapat dipastikan bahwa setiap orang yang melangkahkan kaki untuk mudik ke kampung halaman tidak ada tujuan lain selain memiliki tujuan yang mulia, yaitu dapat bersimpuh memohon maaf dan ridho, serta doa dari kedua orang tua, yang dalam istilah Suku Jawa disebut dengan tradisi sungkem. Selain itu, mudik pun bertujuan untuk dapat bersilaturahim, dan saling berjabat tangan, saling memohon maaf dan memberikan maaf dengan para family, kerabat, dan handai tolan di kampung halaman. Â
Namun, kemuliaan ritual mudik terkadang harus ternodai dengan menjadikannya sebagai "ajang pamer" kesuksesan, khususnya dalam hal materi. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam ritual mudik ini memang sangat berpotensi untuk terjadinya "ajang pamer". Ketika seseorang mudik ke kampung halaman, pastinya akan bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang, baik keluarga, tetangga, maupun teman-teman sesama perantau. Dalam kondisi demikian, seorang perantau yang tujuan merantaunya dapat dipastikan untuk mencari nafkah atau mencari penghidupan, cenderung ingin mendapatkan pengakuan sosial di kampung halamannya bahwa dirinya termasuk orang yang sukses dalam merantau. Terlebih ketika dalam sebuah obrolan yang terkait dengan pekerjaan yang berujung pada tema yang bernuansa materi di kampung halaman, setiap orang cenderung ingin turut menyumbangkan pembicaraan tentang dirinya. Seolah tak ingin kalah dengan lawan bicaranya.
Dalam suasana yang demikian, pengendalian hati sangat diperlukan agar tidak terjerumus menjadikan suasana yang mulia itu sebagai "ajang pamer". Namun ketika hati tidak dipersiapkan dan tidak dapat dikendalikan dalam melakukan rangkaian ritual mudik, maka bagi mereka yang bernasib kurang beruntung, akan memaksakan diri melakukan pencitraan diri demi mendapatkan pengakuan sosial di kampung halamannya. Sedangkan bagi mereka yang nasibnya beruntung akan terjebak pada kesombongan. Seakan dengan materi yang digunakannya, dari mulai busana, perhiasan, kendaraan, sampai dengan cara dan materi obrolannya, ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang telah sukses di perantauan. Itulah bentuk penodaan terhadap kemuliaan ritual mudik, dengan menjadikannya sebagai "ajang pamer".
Penodaan semacam ini, sangat tidak layak terjadi di momen yang mulia itu. Seharusnya seorang pemudik menunjukkan sikap yang bijak sebagai cerminan pribadi yang baik, dan manifestasi dari hasil ibadahnya selama bulan Ramadhan. Bersikap sewajarnya dan sederhana, yang didasari dengan hati yang suci. Tak perlu menunjukan diri kita dan menjelaskannya kepada siapapun, karena orang yang menyukai kita tidak butuh itu, dan yang membenci kita tidak percaya itu.
Oleh karena itu, mari kita persiapkan dan tetap kendalikan hati dalam melakukan rangkaian ritual mudik. Ingatlah selalu tujuan mulianya, dengan tanpa mencampurinya dengan noda yang akan menghilangkan substansinya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan memberikan hidayah kepada kita semua, agar dapat mengendalikan hati selalu berada dalam kebaikan di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun. Aamiin ya Robbal'alamiin.
Selamat Mudik, Hati-hati di jalan. Semoga Selamat Sampai Kampung Halaman, dan Kembali Dengan Selamat di Perantauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H