Tak terasa sudah 27 tahun lamanya saya sudah berhenti merokok. Masih tersimpan diingatan betapa butuh perjuangan cukup berat dengan melewati serangkaian kegagalan. Tekad yang kuat sangat dibutuhkan jika ingin berhasil berhenti dari kebiasaan buruk tersebut yang sangat membahayakan kesehatan.
Saya terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. Mereka bukanlah perokok.Â
Semasa kecil saya terkadang melihat almarhum Bapak merokok di rumah ketika ada tamu. Lama kelamaan saya tidak suka dan marah-marah minta beliau untuk berhenti merokok. Takut kalau Bapak nanti sakit. Dan karena sayangnya pada saya akhirnya Ia berhenti merokok selamanya.Â
Dengan berjalannya waktu dan pergaulan di lingkungan sekitar yang banyak perokoknya, akhirnya saya pun menjadi tertarik dan menjadi kecanduan rokok.
Pertama kali mencoba menghisap asap rokok ketika ada sisa puntung rokok di asbak di ruang tamu. Karena penasaran diam-diam mencobanya. Waktu itu saya masih SD.
Semasa di SMP saya mulai rutin merokok secara sembunyi-sembunyi. Saat itu di lingkungan tetangga satu RT sudah banyak remaja yang merokok. Apalagi saya cenderung bergaul dengan teman-teman yang usianya lebih tua daripada saya. Tentunya dorongan untuk merokok menjadi semakin kuat, apalagi waktu itu ada anggapan kalau sudah merokok baru bisa dikatakan pria sejati. Pendapat yang sangat menyesatkan. Terbuai oleh propaganda iklan rokok yang masif.
Waktu jam istirahat sekolah di SMP sering saya duduk di warung belakang sekolah, aksesnya lewat pintu keluar belakang. Warung tersebut ditepi sungai jadinya aman buat merokok. Guru tak pernah ada yang mengecek aktifitas siswa selama istirahat di warung itu.Â
Sewaktu di SMA semakin sering lagi saya merokok. Mulai berani merokok dimuka umum, namun masih tak berani di depan orang tua. Waktu seusia itu, rokok sudah merupakan kebutuhan bagi saya. Terlebih lagi ketika sedang bermain catur. Semakin asyik menghitung langkah bidak catur, rokok pun tak mau berhenti. Alasannya simpel agar bisa lebih berkonsentrasi. Lawan mainnya pun melakukan hal yang sama.
Ibu seringkali marah-marah karena baju atau kaos yang habis saya pakai berbau rokok. Tentunya bau yang tak sedap bagi mereka yang tak suka rokok.
Pada awalnya saya masing mencoba berbagai jenis rokok. Rokok putih maupun rokok kretek yang pakai busa filter maupun yang tidak. Namun ketika kuliah di Semarang saya sudah menentukan selera rokoknya sendiri. Rokok kretek filter dari kota Kudus. Dalam sehari bisa menghabiskan 12 batang sampai 24 batang.Â