Sejak moratorium pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2014 diberlakukan, jumlah guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Menyusutnya jumlah guru karena sebagian telah mencapai usia pensiun, beralih tugas (jabatan) dari profesi guru, atau meninggal dunia. Namun, kekurangan guru PNS di sekolah-sekolah negeri dapat ditutupi dengan keberadaan guru non PNS.
Kehadiran guru non PNS yang terdiri dari guru bantu, honor daerah, atau sekolah turut meringankan beban guru PNS yang mengajar full jam pelajaran atau rata-rata 30 - 40 jam pelajaran dalam sepekan. Meskipun dengan gaji yang mereka terima belum dikatakan layak, mereka tetap melaksanakan pengabdian mendidik putra-putri bangsa tanpa kenal lelah. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, sembari berharap untuk diangkat menjadi PNS.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus berusaha untuk memperbaiki nasib guru honorer. Salah satunya adalah menerbitkan regulasi yang mengatur pembayaran gaji guru honorer, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2017 tentang petunjuk teknis Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang mengalokasikan 15% dana dari total BOS yang diterima sekolah.
Gaji yang diterima setiap guru honorer yang belum bersertifikat profesi guru perbulan rata-rata satu juta rupiah. Itu belum memadai jika dibandingkan dengan besaran Upah Minimum Kota (UMK) Palu yang sudah di atas 2 juta.
Di tengah minimnya kesejahteraan guru honorer, perubahan status menjadi PNS terus diperjuangkan, baik secara sporadis melalui unjuk rasa, maupun organisasi atau serikat pekerja yang menaungi guru honorer. Bahkan organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) berkali-kali melakukan tuntutan kepada pemerintah untuk menyudahi moratorium penerimaan guru PNS dan segera mengangkat guru honorer.
Jika mengacuh data dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) Kemendikbud tahun 2017, Indonesia kekurangan guru PNS di sekolah negeri mencapai 988.133 guru, yang terdiri dari guru SMA sebanyak 110.277 guru, SMK mencapai 100.071, SLB sebanyak 10.572 guru, jenjang SMP 301.149 guru, SD sebanyak 460.542 guru, dan TK kekurangan 5.522 guru. Pertanyaannya, mengapa Pemerintah belum membuka lowongan bagi guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi dan mengajar untuk diangkat menjadi PNS?
Pihak Kemendikbud sebenarnya sudah mengusulkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) soal penambahan guru, namun belum ada persetujuan dari Kementerian PAN-RB. Kemendikbud tidak dapat berbuat banyak karena pengangkatan CPNS adalah wewenang Kementerian PAN-RB. Belum adanya persetujuan dari Kementerian PAN-RB, disinyalir karena selain adanya moratorium, juga sebagai "sanksi" bagi daerah yang belum profesional dalam melakukan redistribusi guru. Guru di daerah masih menumpuk di kota atau ibukota kabupaten/provinsi, sementara di pelosok desa masih kekurangan.
Secercah lagi harapan bagi guru honorer adalah janji dari Ditjen GTK yang menyiapkan skenario baru dengan mengajukan mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Hasil pendataan guru yang berstatus honorer yang dilakukan oleh Ditjen GTK adalah hanya 252 ribu (sekira 25%) yang layak diajukan menjadi P3K. Angka ini tentu sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah guru honorer yang kabarnya menyentuh angka satu juta lebih. Mereka yang tidak layak diusulkan menjadi P3K, terganjal karena sudah berusia 33 tahun ke atas dan/atau belum mengantongi sertifikat profesi pendidik.
Guru honorer yang tidak layak menjadi P3K, mungkin juga tertutup peluang untuk bisa mendaftar CPNS, pasalnya persyaratan pengangkatan P3K sama dengan CPNS, yakni diantaranya usia di bawah 33 tahun, memiliki ijazah minimal S1 atau diploma IV, dan/atau memiliki sertifikat profesi dari pendidikan profesi guru (PPG).
Kendati usulan P3K disetujui oleh Kementerian PAN-RB, masalah kekurangan guru belum dapat teratasi. Begitupun masih ada 75% guru honorer yang terkatung-katung nasibnya. Pemerintah diharapkan segera mengatasi problem kekurangan guru dengan mencabut moratorium pengangkatan guru PNS.
Proses rekrutmen menjadi PNS dengan pola penjaringan seleksi administrasi perlu ditata kembali. Guru honorer berusia tua yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah harus mendapat prioritas dari guru muda yang baru lulus kuliah. Guru tersebut selayaknya menjadi PNS, karena sesungguhnya mereka sebagian sudah profesional (tersertifikasi), hanya karena sudah berumur di atas 33 tahun sehingga tidak memiliki peluang lagi untuk diangkat menjadi PNS.