Penolakan oleh sebagian kepala sekolah atas kebijakan Pemerintah Kota Palu dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Palu terkait proses pergantian jabatan kepala sekolah pada awal November lalu sempat menjadi pemberitaan hangat di media cetak. Selain penolakan dari kepala sekolah, protes juga datang dari pengurus komite yang didukung oleh orangtua dan wali murid dari sekolah di mana kepala sekolah tersebut bertugas.
Munculnya protes yang dilayangkan oleh sebagian kepala sekolah itu bukan tanpa alasan. Kebijakan yang memberhentikan sejumlah kepala sekolah dan mengembalikan mereka menjadi guru biasa dinilai tidak adil.
Seperti yang dilansir penulis dari Harian Radar Sulteng (16/11/2017), para kepala sekolah yang harus kembali menjadi guru, merasa aturan tersebut tidak manusiawi karena berdampak pada psikologi para kepala sekolah yang sudah memimpin sekolah bertahun-tahun, namun harus kembali menjadi guru seperti sedia kala.
 Alasan lain seperti yang dilontarkan oleh salah satu kepala sekolah yang dinonaktifkan bahwa mereka telah memiliki Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara sebagian guru yang baru dilantik tidak memiliki NUKS.
Masalah pengangkatan guru yang belum mengantongi NUKS, Kepala Dinas Pendidikan Kota Palu menerangkan bahwa jika pengangkatan kepala sekolah baru mensyaratkan adanya NUKS maka jabatan kepala sekolah tidak bakal terpenuhi pasalnya banyak guru di Kota Palu belum memiliki NUKS. Kepala sekolah yang baru akan diupayakan agar memiliki NUKS.
Kontroversi antara pihak mantan kepala sekolah dengan Dinas Pendidikan Kota Palu soal jabatan kepala sekolah yang mencuat ke publik tentu sangat disayangkan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya terbebas dari polemik dan dukung-mendukung soal siapa yang menjabat kepala sekolah sebab dikuatirkan akan berdampak kepada tidak kondusifnya proses belajar mengajar di sekolah.
Sebenarnya sudah ada regulasi yang mensyaratkan seorang guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2007 yang mensyaratkan kualifikasi standar kepala sekolah/madrasah bagi guru yang diangkat menjadi kepala sekolah, antara lain memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 atau D-IV, usia maksimal 56 tahun, pangkat serendah-rendahnya III/c, dan memiliki sertifikat pendidik.
Diperkuat lagi dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 28 tahun 2010, pasal 10 bahwa masa jabatan kepala sekolah maksimal 12 tahun dengan penilaian dan pertimbangan tertentu. Regulasi tersebut merinci periode masa tugas kepala sekolah adalah 4 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa tugas apabila memiliki prestasi kerja minimal baik berdasarkan penilaian kerja. Jika dinilai memiliki prestasi istimewa (penilaian amat baik), maka dapat ditugaskan kembali menjadi kepala sekolah di sekolah lain yang memiliki akreditasi lebih rendah dari sekolah sebelumnya.
Sebelum ditetapkan menjadi kepala sekolah, seorang guru yang telah memenuhi standar kualifikasi kepala sekolah akan diseleksi melalui beberapa tahapan. Pertama, rekrutmen melalui pengusulan kepala sekolah dan/atau pengawas sekolah kepada instansi terkait untuk dilakukan seleksi administratif dan akademik.
Tahapan berikutnya adalah mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) calon kepala sekolah. Diklat calon kepala sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
Guru yang lulus penilaian diberikan sertifikat kepala sekolah oleh lembaga penyelenggara diklat dan dicatat dalam database nasional untuk mendapatkan NUKS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. NUKS merupakan bukti formal sebagai pengakuan bahwa guru yang bersangkutan telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah.