Republika tanggal 21 Mei 2013 memuat berita berjudul “Fakta Kemiskinan Kontradiktif”. Dikabarkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) melaporkan adanya penambahan 20 hingga 25 daerah tertinggal akibat bencana alam. Fakta ini dianggap Eko Listyanto (Institute for Development of Economics and Finance) sebagai hal yang kontradiktif. Bertambahnya jumlah daerah tertinggal tidak konsisten dengan laporan BPS yang menyebutkan adanya penurunan jumlah penduduk miskin dari semula 29,13 juta orang (2012) menjadi 28,89 juta orang (2013).
Sesungguhnya kondisi di atas masih dimungkinkan dan bisa dijelaskan secara akademis. Tidaklah sederhana menyimpulkan sebagai sesuatu yang kontradiktif ketika ada fakta jumlah daerah tertinggal meningkat, sementara jumlah penduduk miskin turun. Hal ini bisa terjadi karena pengertian dan kriteria yang dibangun untuk kedua konsep tersebut berbeda.
Menurut STRANAS PDT (2007), Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain di Indonesia. Definisi ini membatasi bahwa secara administratif daerah tertinggal adalah kabupaten. Walaupun ada kota yang memiliki wilayah dan masyarakat tertinggal tetap saja daerah (kota) tersebut tidak bisa disebut daerah tertinggal.
Ketertinggalan dinilai berdasarkan 2 (dua) aspek yaitu masyarakat dan wilayah yang dirinci menjadi 6 (enam) kriteria dasar, yaitu: perekonomian, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Penetapan daerah tertinggal ditentukan dengan indeks komposit dari nilai indeks 6 kriteria dasar tersebut. Jumlah penduduk miskin hanyalah salah satu sub-kriteria dari kriteria perekonomian. Adapun desa-desa yang terkena bencana termasuk dalam kriteria karakteristik daerah.
Dengan pengertian di atas maka sangat mungkin adanya peningkatan jumlah daerah tertinggal (akibat terjadinya bencana alam) walaupun jumlah penduduk miskinnya menurun. Memang kalau faktor bencana alam dianggap cateris parebus (dengan hal-hal lainnya tetap sama), maka jumlah penduduk miskin yang turun dapat dianggap kontradiktif ketika jumlah daerah tertinggal justru meningkat.
Terlepas dari perdebatan di atas, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa saat ini kualitas pembangunan nasional kita masih buruk. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi telah menghadirkan tantangan baru, yaitu kesenjangan. Hal ini tercermin dari meningkatnya Indeks Gini (41%), walaupun dipihak lain tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran menurun.
Upaya penanganan kesenjangan perlu ditata kembali dari berbagai aspek. Mulai dari hal mendasar seperti penyamaan konsepsi tentang makna ketertinggalan, kebijakan, program, dan organisasi pelaksana kebijakan/program.
Perlu dirumuskan dan dicari hubungan yang komprehensif antara istilah-istilah yang digunakan dalam perumusan kebijakan/program yang terkait dengan isu kesenjangan, seperti: daerah tertinggal, penduduk miskin, wilayah tertinggal, desa tertinggal, dan daerah terpencil. Selama ini konsep-konsep tersebut secara sendiri-sendiri telah digunakan dalam perumusan kebijakan/program dari kementerian/lembaga. Namun pendekatan yang parsial cenderung tidak optimal. Bahkan potensial menyebabkan sekelompok orang semakin tertinggal.
Sebagai contoh, kebijakan/program pembangunan daerah tertinggal yang merujuk kepada pengertian formal dan daftar 183 kabupaten tertinggal yang sudah ditetapkan dalam RPJMN (2010-2014) saat ini tidak dapat menyentuh wilayah tertinggal, desa tertinggal, atau daerah terpencil yang berada di daerah maju / non daerah tertinggal (non-DT). Sehingga maksimalisasi alokasi anggaran pembangunan ke daerah tertinggal yang tidak disertai skema kebijakan/program lain yang ditujukan kepada wilayah tertinggal, desa tertinggal, atau daerah terpencil di daerah maju (non-DT) justru akan memperlebar jurang kesenjangan.
Menurut data yang dikeluarkan KPDT (2011), saat ini secara nasional ada 77.126 desa, dimana terdapat 31.323 desa atau 40,61% yang dikatagorikan sebagai desa tertinggal. Dari 31.323 desa tertinggal tersebut yang berada di daerah tertinggal ada 16.097 desa (51,39 %), adapun desa tertinggal yang berada di daerah maju (non-DT) ada 15.226 desa (48,61%). Cukup besar.
Dalam rangka penanganan kesenjangan wilayah, RPJMN telah memberikan amanat kepada kementerian/lembaga sektoral untuk menangani aspek-aspek ketertinggalan daerah dibawah koordinasi KPDT.
“Daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik” betapapun telah ditetapkan sebagai salah satu Prioritas Nasional dalam RPJMN, dalam prakteknya masih dibutuhkan komitmen yang lebih kuat dari kementerian/lembaga untuk mendukung pembangunan daerah tertinggal, disertai sinergi dan koordinasi yang lebih baik. Hal ini perlu digarisbawahi mengingat kementerian/lembaga telah memiliki prioritas sektoralnya masing-masing yang juga diamanatkan oleh RPJMN. Pada beberapa kasus kondisi tersebut sering membuat kementerian/lembaga terjebak pada ego sektoral.
Disamping itu, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan daerah tertinggal menghadapi masalah “inflasi” institusi koordinator. Untuk menangani masalah yang relatif sama (baca: daerah tertinggal), banyak kementerian/lembaga yang diberi mandat untuk merumuskan kebijakan dan pelaksanaan koordinasinya. Kondisi ini tentu sangat merugikan.
Kerugiannya bukan sekedar pada membengkaknya anggaran untuk membiayai struktur organisasi, tetapi dampak lanjutannya adalah ternyata kementerian/lembaga tersebut “memproduksi” banyak program/kegiatan yang mirip. Bahkan seringkali ada duplikasi kegiatan.
Diperparah lagi oleh banyaknya kewenangan daerah untuk urusan-urusan yang sudah diserahkan ke daerah yang masih dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Salah satu dampak buruknya banyak kegiatan kementerian/lembaga yang tidak sesuai dengan kondisi/kebutuhan daerah. Output pembangunan banyak yang tidak fungsional dan tidak bermanfaat.
Kementerian/lembaga yang mendapat mandat untuk merumuskan kebijakan dan koordinasi penanganan daerah tertinggal diantaranya yaitu: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, KPDT, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), dan Unit Percepatan Pembangunan Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B).
Mari kita perhatikan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, melalui Unit Kerja Eselon II (UKE II) Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pembangunan Daerah Tertinggal memiliki tugas menyiapkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang infrastruktur dan pengembangan wilayah.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, melalui UKE II Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal memiliki tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan rencana, data dan informasi, serta evaluasi pengembangan kawasan khusus dan perbatasan, kawasan tertinggal, serta kawasan rawan bencana.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memiliki tugas menyelenggarakan urusan di bidang pembangunan daerah tertinggal dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara, dengan fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal, serta melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui UKE I Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Daerah diantaranya memiliki fungsi merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pembinaan pembangunan daerah. Dan salah satu kebijakan srategis dalam pengembangan wilayah yaitu: mengurangi kesenjangan antar daerah melalui percepatan pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir laut dan pulau-pulau kecil, kawasan strategis dan andalan yang serasi dan terpadu.
Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) memiliki tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan,rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Sebagaimana diketahui, banyak kawasan perbatasan berada di kabupaten yang termasuk katagori daerah tertinggal.
Adapun Unit Percepatan Pembangunan Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) memiliki tugas membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebagaimana diketahui bahwa 100% kabupaten di Papua dan Papua Barat termasuk katagori daerah tertinggal.
Penjelasan di atas mempertegas adanya duplikasi tugas dan fungsi institusi yang menangani perumusan dan koordinasi penanganan kesenjangan wilayah. Sudah saatnya para penentu kebijakan mulai mengurai dan mencari solusi menyeluruh atas sengkarutnya penanganan permasalahan ini. Pengertian-pengertian dasar dari konsep-konsep yang digunakan dalam rangka penanganan kesenjangan perlu dirumuskan secara komprehensif, konsisten, dan memiliki hubungan. Demikian halnya organisasi pelaksana dan koordinasi penanganan ketertinggalan perlu ditata agar efektifitas dan efisiensi program/kegiatan dapat tercapai.
Dengan upaya ini harapannya perencanaan bisa lebih akurat dan keberhasilan pembangunan nasional dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat seluruhnya. Bukan dihadirkan sebagai hasil “utak-atik” kriteria dan data statistik semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H