Membaca ulang Daerah Tertinggal setelah 10 tahun ditangani Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Quo Vadis Daerah Tertinggal ? Akankah menjadi sekedar asesoris pada kementerian baru (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) ?
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal pada 29 September 2014 telah mengeluarkan 70 Kabupaten dari daftar Daerah Tertinggal. Berdasarkan kriteria dan indikator yang ada ke-70 kabupaten tersebut dianggap telah maju.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) dalam 10 tahun terakhir telah turut menentukan nasib masyarakat di Daerah Tertinggal. KPDT-lah yang selama ini memutuskan masuk atau keluarnya suatu daerah ke dalam daftar Daerah Tertinggal. Dengan dimasukkannya sebagai Daerah Tertinggal ada berkah yang mengikutinya. Daerah Tertinggal menjadi Prioritas Nasional dan mendapat perhatian lebih dari Kementerian/Lembaga dibandingkan daerah lainnya. Bagi daerah, keluar dari daftar Daerah Tertinggal seperti makan buah simalakama.
Untuk pertama kalinya tahun 2004 KPDT menetapkan 199 kabupaten masuk katagori Daerah Tertinggal. Tahun 2009 ada 50 kabupaten yang diputuskan keluar dari daftar Daerah Tertinggal, sehingga tersisa 149 Daerah Tertinggal. Cuma karena pada selang 2004-2009 ada 34 Daerah Otonom Baru yang lahir dari Kabupaten Induk yang berstatus tertinggal, maka pada RPJMN 2010-2014 ditetapkan jumlah Daerah Tertinggal ada 183 kabupaten. Dengan dikeluarkannya 70 kabupaten dari daftar Daerah Tertinggal pada September 2014 maka saat ini tersisa 113 Daerah Tertinggal.
Presiden dan Wakil Presiden baru telah terpilih. Pertanyaannya bagaimana kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK menangani isu kesenjangan wilayah ? Relevankah dengan Nawa Cita-nya Jokowi-JK? Akankah melanjutkan kebijakan lama? Bagaimana evaluasi pelaksanaan penanganan kesenjangan wilayah di era SBY?
Tak dapat dipungkiri kesenjangan wilayah masih menjadi masalah besar bangsa. Agenda penyelesaiannya telah dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Tinggalah sekarang Pemerintahan Jokowi-JK memberikan “ruh” pada tahapan ketiga RPJPN yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Jokowi-JK mengusung Sembilan Agenda Perubahan yang dipopulerkan dengan istilah Nawa Cita. Dari sembilan Agenda Perubahan tersebut yang relevan dengan isu Daerah Tertinggal adalah Nawa Cita yang ketiga, yaitu: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Agenda ketiga ini rencananya akan dilakukan melalui: 1) Desentralisasi Asimetris, 2) Pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan, 3) Penataan Daerah Otonom Baru untuk kesejahteraan Rakyat, dan 4) Implementasi UU Desa.
Untuk melanjutkan agenda pembangunan daerah, Jokowi-JK perlu memiliki informasi yang cukup tentang kondisi penanganan Daerah Tertinggal sebelumnya. Hal ini berguna untuk dasar perencanaan dan perbaikan.
Daerah Tertinggal selama ini didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kriteria dan indikator penetapan Daerah Tertinggal tidak mempertimbangkan secara langsung keberadaan desa tertinggal. Merujuk pada pengertian di atas, maka secara administratif, Daerah Tertinggal adalah kabupaten. Konsekuensinya, daerah yang berstatus kota tidak bisa dikatagorikan sebagai Daerah Tertinggal, betapapun mungkin secara fisik di kota-kota tersebut masih banyak wilayah atau desa tertinggal.
Dengan penetapan daftar Daerah Tertinggal maka kebijakan/program pembangunan Daerah Tertinggal (yang dikoordinasikan KPDT) tidak diperkenankan menyentuh wilayah tertinggal, desa tertinggal, atau wilayah terpencil yang berada di daerah maju / Non Daerah Tertinggal (Non-DT). Sehingga maksimalisasi alokasi anggaran pembangunan ke Daerah Tertinggal yang tidak disertai skema kebijakan/program yang ditujukan kepada wilayah tertinggal, desa tertinggal, atau wilayah terpencil yang ada di daerah maju (Non-DT) justru akan memperlebar kesenjangan.
Menurut data yang dikeluarkan KPDT (2011), saat ini secara nasional ada 77.126 desa, dimana terdapat 31.323 desa atau 40,61% yang dikatagorikan sebagai desa tertinggal. Dari 31.323 desa tertinggal tersebut yang berada di Daerah Tertinggal ada 16.097 desa (51,39 %), adapun desa tertinggal yang berada di daerah maju (non-DT) ada 15.226 desa (48,61%). Relatif berimbang.