“…. untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia…..”.
- Pembukaan UUD 1945 -
Amanat Konstitusi
Konstitusi telah mengikat para penyelenggara Negara bahwa salah satu maksud membentuk Negara Indonesia yaitu dalam rangka mensejahterakan rakyat. Sejarah pasang-surut pembangunan sudah memasuki lebih dari 65 tahun.Program pembangunan nasional secara sistematis telah dilakukan sejak serangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang dimulai dekade 1960-an. Hal ini telah mengakibatkan kemajuan pada hampir seluruh aspek kehidupan, serta mampu membangun pondasi yang kuat bagi pembangunan tahap berikutnya. Namun kebijakan pembangunan tersebut lebih berorientasi pada sektoral dan terpusat, sehingga menimbulkan jejak negatif terhadap pembangunan daerah.
Dalam catatan sejarah, gerakan separatis kerap mewarnai dinamika perjuangan daerah.Akumulasi kekecewaan daerah dan masyarakat terjadi saat krisis multidimensi pada akhir dekade 1990-an yang berujung pada gerakan reformasi yang menumbangkan Orde Baru.
Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi solusi dalam pusaran pertarungan pusat dan daerah. Sejalan dengan itu perjuangan untuk mendorong peran yang seimbang diantara stakeholders pembangunan terus dilakukan. Dalam hal ini keseimbagan antara peran pemerintah, legeslatif, swasta, dan masyarakat terus didorong dalam formula tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Lebih dari satu dekade pelaksanaan reformasi telah berjalan, namun dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat belum nyata terlihat.Cerita tentang kesenjangan wilayah, kemiskinan, dan kebodohan masih mewarnai kita hari ini. Tampaknya perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan masih akan menempuh jalan panjang yang penuh liku.
Komitmen pemerintah untuk mengentaskan ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan bukan tidak ada. Komitmen itu masih ada, paling tidak kalau melihat dokumen-dokumen perencanaan pembangunan, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Agenda Kabinet Indonesia Bersatu.
Berbagai strategi, kebijakan, program, dan model-model pembangunan yang dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mengentaskan ketertinggalan terus dilakukan. Harapan keberhasilan tentunya masih ada, tapi potensi kegagalan bukanlah tidak ada.Berbagai catatan keberhasilan perlu terus dikembangkan, dan potensi kegagalan perlu diminimalisasi.
Kesenjangan Wilayah
Ketimpangan pembangunan telah nampak pada era 1970-an. Jejak kesenjangan wilayah yang ditinggalkan Orde Baru ditandai oleh beberapa hal, antara lain: (1) terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa; (2) melebarnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI); (3) kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan; (4) kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah; serta (5) terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan.
Pada era 1970-an KBI telah menguasai lebih dari 80% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, di mana Pulau Jawa memiliki porsi terbanyak dalam penguasaan PDB nasional, yakni sekitar 46% dengan luas wilayah hanya 9% dari total luas wilayah Indonesia. Sementara itu, KTI hanya menguasai sekitar 18% PDB nasional. Kesenjangan ini berlangsung hingga memasuki lebih dari tiga dekade berikutnya.
Kesenjangan ini juga dipengaruhi oleh ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan didominasi oleh sektor industri pengolahan, komunikasi, jasa, dan keuangan, di mana sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi serta komparatif dan kompetitif yang tinggi antar sektor. Sementara itu, di perdesaan yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian, menyumbang 14% bagi kontribusi PDB nasional yang masih kalah jauh dibandingkan dengan sektor komunikasi yang menempatkan lebih dari 16% bagi PDB nasional.
Sampai dengan saat ini kesenjangan wilayah masih terus terjadi. Pada tahun 2004 disadari bahwa persoalan kesenjangan bukan saja terkait isu KBI dengan KTI, tetapi persoalankesenjangan merupakan persoalan bangsa secara keseluruhan. Hal ini ditegaskan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, yaitu dalam rangka penanganan kesenjangan antar wilayah, telah ditetapkan 199 daerah tertinggal, dimana 123 kabupaten (62%) berada di KTI, 58 Kabupaten (29%) di Sumatera, dan 18 Kabupaten (9%) ada di Jawa dan Bali.
Dalam RPJMN 2010-2014 jumlah daerah tertinggal di Indonesia tinggal 183 kabupaten yang tersebar di: Sumatera 46 kabupaten (25%), Jawa dan Bali 9 kabupaten (5%), Kalimantan 16 kabupaten (9%), Sulawesi 34 kabupaten (19%), Nusa Tenggara 28 kabupaten (15%), Maluku 15 kabupaten (8%), dan Papua 35 (19%).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H