Mohon tunggu...
Aris Ahmad Risadi
Aris Ahmad Risadi Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Buah Terlarang Desentralisasi

10 Januari 2014   10:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan daerah tertinggal sebagai bentuk kesadaran kolektif dalam penanganan kesenjangan wilayah harus disikapi lebih serius.  Sebab kesenjangan wilayah merupakan isu sensitif yang sering menjadi pemicu timbulnya gerakan sparatis.

Prestasi dan komitmen pemerintah dalam menangani kesenjangan wilayah patut diapresiasi. Namun ada beberapa catatan mengingat yang telah dilakukan pemerintah belum sepenuhnya sesuai harapan (masyarakat dan pemerintah daerah), serta kompleksnya permasalahan.

Euforia desentralisasi telah meningkatkan syahwat untuk memekarkan daerah dengan alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus menjadi instrumen penanganan kesenjangan wilayah.

Namun pemekaran daerah sebagai solusi ketertinggalan sering dituding menjadi penyebab bertambahnya jumlah daerah tertinggal. Bahkan ada yang menilai sebagai penyebab ketertinggalan.

Semula Daerah Otonom Baru (DOB) dibentuk karena dipandang mampu. Setelah dinilai dengan menggunakan kriteria daerah tertinggal mayoritas DOB masuk katagori daerah tertinggal. Ini menegaskan bahwa pemekaran daerah tidak selamanya  didukung oleh kemampuan. Pemekaran dilakukan lebih banyak karena faktor: pertimbangan etnis, historis kedaerahan, rentang kendali, elite daerah, dan rasa kurang diperhatikan.

Ada logika yang terbalik. Semakin tertinggal suatu wilayah, semakin kuat dorongan untuk memisahkan diri dari induk.  Terlebih sistem yang ada merangsang pemekaran daerah, dimana dengan menjadi DOB dapat memiliki akses langsung ke APBN dan mengelola keuangan sendiri.

Lokus kegiatan penanganan kesenjangan wilayah atau pembangunan daerah tertinggal yaitu desa. Namun Kementerian/Lembaga dalam pelaksanaanya belum memberikan kepercayaan penuh kepada Pemerintahan Desa. Ini ironis, di era desentralisasi, desa masih sekedar menjadi obyek penderita.

Kehadiran Undang-undang Desa yang telah disetujui Sidang Paripurna DPRI RI (18 Desember 2013) memberi harapan baru untuk adanya perubahan dan posisi tawar desa yang semakin kuat. Undang-undang Desa mewajibkan Kementerian/Lembaga  berkoordinasi dengan Pemerintahan Desa. Program/kegiatan sektoral yang masuk ke desa wajib disinkronisasikan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa.

Berdasarkan data Kemendagri (2010) di desa diperkirakan ada 61.400 Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank dan Bukan Koperasi (LKMB3K). Banyak diantaranya hasil bentukan program Kementerian/Lembaga yang bersifat ad-hock. Lembaga ini sedang didorong untuk menjadi BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).   Di samping dapat berperan dalam pemberdayaan masyarakat, BUMDes bisa menjadi garda depan dalam menjaga dan mengelola aset-aset desa sehingga lebih berdayaguna dan memberikan manfaat kepada masyarakat.

Penggunaan istilah daerah tertinggal juga masih bias. Padahal istilah ini menjadi salah satu dasar dalam pengalokasian anggaran. Pembangunan daerah tertinggal tidak simetris dengan pembangunan desa tertinggal. Pelaksanaan kebijakan pembangunan daerah tertinggal tidak memasukkan desa tertinggal yang ada di daerah maju, padahal jumlahnya hampir sama. Perbandingan desa tertinggal di daerah tertinggal dengan desa tertinggal di daerah maju yaitu 52% : 48%. Sehingga maksimalisasi alokasi anggaran pembangunan ke daerah tertinggal yang tidak disertai skema kebijakan/program lain yang ditujukan kepada wilayah tertinggal, desa tertinggal, atau daerah terpencil di daerah maju justru akan memperlebar jurang kesenjangan.

Dalam konteks kelembagaan, sikap Pemerintah saat menangani kesenjangan wilayah atau menghadapi banyaknya jumlah daerah tertinggal (termasuk akibat pemekaran daerah) yaitu dengan membentuk berbagai unit kerja setingkat Kementerian/Lembaga atau Eselon I, Eselon II, Eselon III di berbagai Kementerian/Lembaga.  Kebijakan ini rasanya kurang pas dan memberi kesan motto reformasi birokasi “miskin struktur kaya fungsi” hanya berlaku untuk Pemerintahan Daerah.   Kondisi ini menyebabkan pemborosan dana serta rendahnya efektifitas program/kegiatan yang berujung pada semakin sengkarutnya penangan daerah tertinggal.

Kedepan upaya perbaikan pembangunan daerah secara umum perlu diiringi peneguhan kembali komitmen semua pihak  terhadap pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang mengusung prinsip money follow function. Dalam hal ini proporsi alokasi Belanja Transfer ke Daerah dalam APBN harus ditingkatkan, mengingat urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Kementerian/Lembaga (Pemerintah Pusat) hanya 6 (enam), adapun 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan yang lainnya sudah dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

Informasi lebih rinci dapat dilihat di Buku “Sengkarut Daerah Tertinggal: Buah Terlarang Desentralisasi”. Buku ini dapat menjadi rujukan para penentu kebijakan (eksekutif/legestalif), konsultan perencana dan pendampingan, serta semua pihak yang menginginkan perbaikan kesejahteraan masyarakat desa dan daerah tertinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun