Mohon tunggu...
Aris Ahmad Risadi
Aris Ahmad Risadi Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Istilah Daerah Tertinggal, Bermasalah?

6 Juli 2011   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kepentingan perencanaan pembangunan, secara resmi telah dirumuskan pengertian dari daerah tertinggal. Seluruh arah kebijakan dan afirmatif action harus merujuk kepada pengertian resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Suka atau tidak suka pengertian inilah yang menjadi dasar perumusan kebijakan dan alokasi anggaran.

Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

Pengertian ini memiliki kata-kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu:

Daerah kabupaten. Secara administratif, daerah tertinggal harus masuk dalam katagori kabupaten. Hal ini mengandung konsekuensi, bahwa daerah yang bernomenklatur kota, seperti Kota Sabang, Kota Banjar,dan Kota Tual tidak bisa dikatagorikan sebagai daerah tertinggal, betapapun mungkin secara fisik di kota-kota tersebut masih banyak wilayah tertinggal, atau bahkan terdapat desa-desa yang dikatagorikan tertinggal.

Masyarakat dan wilayah.Ketertinggalan dilihat dari dua aspek pokok yaitu aspek masyarakatnya dan aspek wilayahnya. Kedua aspek ini dirinci kedalam enam kriteria pokok ketertinggalan yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Data untuk masing-masing kriteria ini bersumber dari data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan, yaitu: Data Potensi Desa, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dan Data Keuangan Daerah.

Relatif dalam Skala Nasional. Data-data masing-masing kabupaten diperbandingkan secara relatif dengan seluruh daerah kabupaten/kota yang ada di Indonesia.

Sejauh pengertian daerah tertinggal ini konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka pengertian daerah tertinggal yang dikeluarkan pemerintah dapat menjadi alat ukur dan alokator anggaran yang objektif.Jika sebaliknya, maka penetapan daerah tertinggal tersebut justru potensial menjadi penyebab disparitas baru.

Upaya pemerintah untuk membuat kriteria objektif patut dihargai.Namun penghargaan ini hendaknya tidak menghalangi untuk mengkritisi beberapa hal yang perlu diungkapkan, sejauh mengandung kebenaran dan berguna bagi perjuangan mensejahterakan rakyat. Karena seperti telah disampaikan, penetapan daerah tertinggal ini akan mempengaruhi kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan.

Penetapan daerah tertinggal yang dilakukan pemerintah tampaknya tidak luput dari kekeliruan dan kelemahan,diantaranya seperti :

1.Data daerah tertinggal yang tertuang dalam RPJMN 2005-2009 tidak sama persis dengan data daerah tertinggal yang ada di STRANAS PPDT 2005-2009. RPJMN 2005-2009 memasukkan Kabupaten Lingga (Provinsi Kepulauan Riau) dan Kabupaten Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) sebagai daerah tertinggal, sementara kedua kabupaten tersebut dalam STRANAS PPDT 2005-2009 tidak dimasukkan sebagai daerah tertinggal. Dan sebaliknya, Kabupaten Natuna (Provinsi Kepulau Riau) dalam STRANAS PPDT 2005-2009 dikelompokkan sebagai daerah tertinggal, tapi dalam dokumen RPJMN 2005-2009 tidak dicantumkan.

2.Asumsi yang kurang tepat ketika tiga puluh empat Daerah Otonom Baru yang dimekarkandari daerah induk yang berstatus daerah tertinggal langsung ditetapkan sebagai daerah tertinggal (dari 183 daerah tertinggal seperti tercantum dalam RPJMN 2010-2014). Sebetulnya perlu kajian yang lebih mendalam, karena boleh jadi dari tiga puluh empat daerah otonom baru tersebut ada yang tidak tertinggal, atau paling tidak ada daerah otonom baru yang dimekarkan dari non daerah tertinggal yang justru kondisinya lebih tertinggal yang tentunya menjadi lebih berhak untuk mendapatkan perhatian.

Data Potensi Desa yang digunakan sebagai dasar perhitungan banyak mengandung kelemahan.Menurut Ivanovic Agusta (2007), mutu Data Potensi Desa belumlah prima. Data Potensi Desa Tahun 2006 terlalu banyak kesalahan ketik ketika menyebut komoditas unggulan desa, seperti seharusnya “padi” tetapi ditulis “3padi”, “padsi”, “padi s”, dan banyak lagi. Mengherankan pula mendapati desa hanya berpenghuni seorang penduduk perempuan, atau hanya berisi satu rumah tangga. Kesalahan seperti ini muncul sejak sensus sebelumnya. Pada Data Potensi Desa Tahun 2003 kesalahan pencatatan penduduk dapat mencapai 70% di suatu desa, meskipun di desa lain tidak lebih 20%. Kesalahan pencatatan infrastruktur bisa mencapai 50%, namun jumlah infrastruktur di desa biasanya relatif sedikit.Sekalipun berbalut kelemahan, Data Potensi Desa tetap satu-satunya data sensus desa yang dimiliki Indonesia dan dijadikan bahan perencanaan pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun