Mohon tunggu...
aris budi
aris budi Mohon Tunggu... -

Lahir di Padepokan Yogyakarta. Sekarang "masih" mengampu pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Seperti manusia lainnya, sedang proses belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Parodi Kemiskinan dan Ketergantungan

19 September 2012   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:15 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alamnya, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Di samping negara yang besar, pula memiliki jumlah sumber daya manusia yang sangat besar. Menurut data statistik bps.go.id, tahun 2012 tercatat penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326. Di peringkat dunia, Indonesia menempati peringkat keempat setelah China, India dan Amerika Serikat. Ironinya, dari sebanyak sumber daya baik alam maupun manusianya, Indonesia masih belum mampu mengentaskan kemiskinan.

Data BPS menyebutkan, bahwa selama beberapa tahun ini kemiskinan di Indonesia menurun. Seperti yang dirangkum mulai tahun 2009, sebanyak 17,35% diantaranya masuk dalam kategori miskin. Tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan secara bertahap, yakni masing-masing 13,33% dan 12,49%. Entah bagaimana konsep perhitungan dan kondisi saat melewati pendataan data miskin, pasalnya melihat kondisi masyarakat saat ini yang berubah. Sebagai contoh, ada diantara mereka yang sebetulnya miskin karena gengsi dan merasa lebih baik menganggap sudah "kaya". Disisi lain, orang kaya merasa miskin. Pemandangan ini bisa kita lihat pada musim-musim Hari Raya Besar, ketika pembagian sembako masyarakat rela mengantri untuk mendapatkan bahan pokok tersebut secara gratis atau murah. Banyak diantara mereka yang kaya, tetapi ikut berbondong mendapatkan sembako murah. Begitupun dengan lingkungan di tempat penulis berada. Tak hayal juga, Indonesia adalah negara yang besar. Setiap tahunnya, mencetak generasi-generasi baru. Tak sedikit diantaranya tinggal di pedalaman-pedalaman, tentunya juga butuh suatu perjuangan tersendiri untuk menemukan mereka. Sangat jelas, mereka kekurangan dalam hal finansial hanya bisa mengharap kekayaan lingkungan sekitar, apakah mereka sudah termasuk dalam data tersebut jika melihat kondisi seperti itu?

Bukan penulis bermaksut meragukan data tersebut, tetapi saat ini banyak masyarakat yang masih merasa bergantung terhadap pemerintah atau belas kasih orang lain untuk mendapatkan uang. Ini bisa terlihat dari tingkat ketergantungan masyarakat dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, maraknya para pengemis, gelandangan, pengamen, peminta-minta atau semacamnya. Menjadi suatu perhatian tersendiri untuk menjadi pertimbangan bagi pemerintah sebelum memulai pendataan.

Masyarakat Masih "Bergantung"

Maraknya pengemis, pengamen dan sebagainya menandakan masih banyaknya masnyarakat yang bergantungan terhadap orang lain. Makna kata bergantung di sini jangan disamakan dengan bergantung dalam dunia sosial, tetapi bergantung karena mengharap uang dari orang lain tanpa ada usaha dan pengorbanan. Mengharap dan menanti uang datang hanya bermodalkan wadah atau seonggok tangan menjulur ke depan dari para pejalan kaki atau pengendara.

Lain sisi, di dunia pendidikan misalnya, masyarakat ingin mendapatkan hidup layak. Diantara sekian banyaknya sarjana yang ada, sebagian besar mereka bercita-cita untuk bisa bekerja di pemerintahan, seperti PNS. Tentunya, jika melihat peluang dan jumlah sarjana yang ada sangat jauh persentasenya. Sedangkan bagaimana dengan mereka yang tak dapat diterima menjadi PNS?Menganggur bahkan masih menanti pendaftaran baru CPNS. Ini menjadi sebagian bukti bahwa masyarakat saat ini masih memiliki ketergantungan terhadap pemerintah.

Paradigma para penggelandang ataupun sarjana sama-sama masih bergantung walau dengan latar belakang yang berbeda. Bagaimana tidak?Tentunya akan menjadi beban lama dan menjadi PR bagi semua, tidak hanya pemerintah saja, tetapi masyarakat juga. Apabila pola masyarakat masih seperti ini juga, bisa dipastikan kemiskinan akan tetap berlanjut dan semakin membengkak.

Menjadi "orang miskin" bukanlah impian setiap orang. Ada beberapa pandangan, pertama, miskin karena takdir. Mereka merasa bahwa hidup ini adalah takdir, jika itu sudah menjadi anggapan sebuah takdir, maka mereka menerimanya  dengan lapang dada tanpa ada usaha apapun. Kedua, miskin karena malas. Malas dalam bekerja, mencari atau berusaha untuk memperbaiki hidup. Merasa sudah cukup serta lingkungan malas yang terbentuk, akibatnya mereka hanya bisa bergantung kepada orang lain. Ketiga, miskin yang datang karena mungkin bangkrut, atau akibat adanya PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan. Kehilangan pekerjaan serta susahnya mencari pekerjaan menjadi masalah baru dalam kemiskinan.

Lalu bagaimana menekan kemiskinan ini?Apakah pemerintah telah melakukan kebijakan yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan ini. Seperti misal Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Sementara (BLSM) bagi mereka yang miskin bukanlah solusi, tetapi malah memberikan masalah baru. Pasalnya, masyarakat hanya diberikan uang. Terserah uang itu untuk apa dan dibelanjakan untuk apa. Dengan jumlah yang sedikit itu, tak mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi beban kemiskinan, tetapi akan menimbulkan ketergantungan baru terhadap pemerintah. Terpenting sudah mendapatkan uang, tak usah bekerja lagi, seperti itu. Akan lebih baiknya jika dana-dana diganti dan dimaksimalkan menjadi pelatihan ketrampilan, pemberian modal usaha, peminjaman modal usaha maupun penciptaan lapangan baru. Dana BLT hanyalah bersifat jangka pendek saja, sedangkan ketika masyarakat dibekali dengan ketrampilan, modal usaha, atau penciptaan lapangan baru memberikan efek jangka panjang. Bagi mereka yang sebelumnya tak bisa apa-apa, bisa membuka usaha baru, dengan modal ketrampilan yang dimilikinya atau bahkan membuat usaha baru.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun