Ketika berbicara tentang teman sejati ada banyak cerita yang melekat canda, tawa, air mata, hingga cerita yang selalu diingat untuk sewaktu - waktu aku panggil dari relung kenangan. Tapi ada yang berbeda dari teman sejati, bagiku teman sejati adalah teman yang selalu ada dan senantiasa menunggu untuk diajak bicara. Sejak kecil aku selalu mendengar cerita berkesan dari Kakekku, entah kenapa aku selalu bersedia meluangkan waktuku untuk mendengarkan ceritanya. Bukan tanpa hal sejak muda beliau selalu mengidolakan Soekarno dan setiap cerita panjang denganku pasti selalu menceritakan tentang Presiden pertama itu. Beliau selalu menceritakan tentang sebuah karya dari pendiri bangsa ini. Aku sempat ditunjukan karyanya, karya yang diberi nama seorang perempuan jawa ia adalah karya berbentuk buku yang diberi judul Sarinah.
Buku yang sudah tidak lagi sempurna bahkan usianya lebih dari setengah abad itulah buku yang memperkenalku pada teman sejati. Setiap kali aku meminta kakekku untuk bercerita, beliau juga menceritakan tentang satu karya besar Soekarno "Dibawah bendera revolusi", aku disuruh membacanya, sayangnya buku itu sudah tidak ada lagi di tempat kakekku. Waktu berjalan ketika aku harus memahami sarinah, bahkan saat itu aku agak sulit karena ejaannya masih ejaan lama sehingga aku perlu pelan pelan memahami sahabatku itu. Seiring waktu, aku mulai menyukai buku begitupula saat aku menerima dua teman sejatiku sepulang kakek dan nenekku dari Mekkah seusai menunaikan Ibadah Haji.
Beliau menghadiahkanku dua buku saat itu, yang usiaku baru 12 tahun sebelum lulus SD, sehingga begitu spesialnya karena buku itu bercerita sejarah Mekkah dan Madinah. Begitu indahnya buku itu hingga aku kagum kepada Allah yang telah menciptakan agamaNya dengan segala keagungan yang menyertai penciptaan dan kegunaannya bagi umat manusia. Aku buka satu persatu lembar itu, aku pahami, hingga dua buku itu aku selesaikan walaupun belum paham betul apa yang ditulis dibuku itu. Bagiku tak masalah karena aku lebih mengenal lebih dalam apa itu Mekkah dan Madinah.
Saat aku disekolah menengah pertama kecintaanku pada buku bukan hanya sekedar keinginan semata tapi aku benar benar mencarinya dalam perjalananku. Aku mulai mencari buku yang bercerita tentang rasulku Muhammad, aku coba cari dan aku dapatkan buku itu judulnya Muhammad karya Martin Lings yang membuatku terkagum – kagum dengan rangkaian kata yang mengisahkan rasul Muhammad. Bagiku aku membaca buku itu adalah bukan hanya sekedar menyelesaikan beratur ratus lembar halaman tapi jauh daripada itu aku mengerti bahwa rasulku telah memberikan pada dunia ini kasih dan sayang beliau hingga sampai pada akhir hayat beliau. Dari buku itulah aku menampaki perjalanan spritualku ketika aku lebih mengenal rasul Muhammad lebih dekat sedekat sudah ada perjumpaan dengan beliau.
Perjalananku mengarungi samudra tinta bukan hanya berhenti disini, tapi jauh lebih dalam lagi. Seketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas aku mencoba mencari cari buku tentang syair syair yang menyejukkan hati hingga pencarianku berhenti pada sebuah buku yang berjudul "La Tahzan" yang artinya jangan bersedih. Buku La Tahzan karya penyair besar Dr. 'Aidh al - Qarni membuatku berlayar pada kesejukan hati sampai satu syair hingga aku terpukau tak berkata kata beginilah syairnya "Kuingat Engkau saat alam begitu gelap gulita, dan wajah zaman berlumuran debu hitam, Kusebut nama-MU dengan lantang di saat fajar menjelang,dan fajarpun merekah seraya menebar senyuman indah ". Itulah syair yang selalu aku ingat ketika aku mengingat sahabat sejatiku itu. Entah kenapa hingga aku selalu mengingatnya, begitulah perjumpaanku yang berkesan pada buku itu. Bagiku bukan hanya sekedar rangkaian kata tapi jauh dari itu adalah pengingatku pada Sang Maha Agung pencipta alam semesta.
Cerita ini berlanjut, kecintaanku pada buku semakin hari semakin mendalam, hingga saat itu aku mulai membaca cerita tentang perjalanan suami istri Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra yang membuatku hanyut dalam cahaya Islam begitulah judulnya novelnya yaitu "99 Cahaya di Langit Eropa". Dalam novel itu bukan hanya menemukan keindahan dari Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepak Bola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venez tapi jauh dari itu aku diajak untuk mengetahui berbagai misteri perjalanan Islam di benua biru. Sekali lagi aku diajak mengarungi ribuan kata tentang Islam, bagaimana Islam merangkai dan merajut dalam kehidupan ini hingga begitu indahnya disetiap perjalanan dan kenangan yang selalu diingat. Aku teringat kata – kata ulama besar negeri ini, Buya Hamka beliau mengatakan, “Membaca buku – buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik”. Luar biasa bagiku itu adalah kenyataan yang aku dapatkan dan mereka yang tidap pernah suka membaca buku akan rugi karena mereka tidak pernah merasakan kehadiran dan kesejukan hati dari rangkaian kata – kata dalam beratus - ratus lembar halaman.
Seiring waktu berjalan, aku mulai menapaki berbagai jenis buku, mulai dari buku autobiografi sampai buku biografi. Yang aku sukai adalalah aku lebih mengenal siapa yang ditulis didalam buku itu. Tahta untuk rakyat, buku dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan begitu sederhannya beliau. Aku teringat satu cerita dari Ngarso Dhalem suatu ketika ada pedagang pasar wanita yang menghentikan jip untuk menumpang ke pasar Kranggan, seketika sampai dipasar, pedagang pasar itu meminta sang sopir untuk menurunkan dagangannya, sampai sang sopir selesai menurunkan dagangannya wanita pedagang pasar itu lantas memberi uang sebagai jasa telah mengatarkannya, tanpa berkata kata sang sopir kemudian langsung masuk ke mobilnya dan langsung pergi.
Selepas sang sopir pergi ada polisi yang mendatangi wanita pedagang pasar itu dan bertanya "Apakah anda tahu siapa yang menyetir mobil itu ?, wanita pedagang pasarpun menjawab "sopir ya sopir" lantas polisi memberitahukan bahwa yang menyetir mobil itu adalah Ngarso Dhalem seketika itu wanita pedagang pasar itu jatuh pingsan tak menyadari bahwa ia telah dibantu oleh Ngarso Dhalem. Begitulah cerita sederhana yang aku baca memang benar sesuai dengan judul bukunya yaitu "Tahta untuk Rakyat", tahtanya hanya untuk kepentingan rakyat tanpa memadang siapa dia. Inilah kesederhanaan yang aku dapatkan hingga akhir cerita pada buku itu aku sempat menitihkan air mata ketika Ngarso Dhalem mangkat, besar sekali kenangan yang ditinggalkan dan begitu sangat kehilangan masyarakat jogja mengantar Ngarso Dhalem ke peristirahatan terakhir di Imogiri.
Cerita ini belum berakhir hingga pada waktu pertengahan semester gasal, aku kembali bernostalgia dengan sejarah negeri ini. Ada yang spesial dari nostalgia yang aku lakukan, aku mendapatkan dua buah buku yang merupakan kisah perjalanan hidup Soekarno, “ Dibawah Bendera Revolusi “, begitulah judul buku yang pada waktu itu kakekku mempunyainya. Sebagai wujud rasa senang sewaktu aku kembali dari kuliah aku tunjukan dua buku itu pada kakekku, beliau mengatakan “ Pelajari buku ini, bisa jadi bekalmu kelak “, seraya memandang foto Soekarno yang terpasang di ruang tamu rumah.
Perjalanan mengarungi berlembar tinta belum usai hingga pada waktu akhir semestrer genap aku mendapatkan satu buah buku lagi yang berjudul “ Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia “, yang merupakan karya jurnalis Amerika Cindy Adams. Didalam buku ini aku menemukan sesuatu yang luar biasa bukan hanya sekedar menceritakan Soekarno sebagai seorang rakyat kebanyakan dengan kegemarannya makan sate di pinggir jalan hingga menghampiri dan berbicara dengan petani miskin yang ada dipriyangan tapi jauh dari itu ketika selesai membaca buku ini aku merasa bahwa tidak ada yang pantang menggantikan Soekarno memimpin negeri ini, Sang Putra Fajar Penyambung Lidah Rakyat.
Itulah seklumit cerita tentang sahabat sejatiku dia adalah BUKU. Hari ini aku telah sedikit belajar tentang sejarah – sejarah masa lalu, melalui buku itulah aku dapat merasakan dan menjelma seakan – akan aku berada dalam cerita itu, bukan hanya sekedar berapa banyak buku yang telah dibaca tapi lebih dalam lagi aku mengerti bahwa sekarang aku lebih bodoh jika aku tidak membaca buku. Kesejukan rohani seakan tumbuh bersamaan dengan cerita panjang yang disajikan dalam perpaduan kata bak sastra indah penyejuk jiwa. Aku akhiri cerita ini dengan bersajak tentang buku berikut sajaknya.