LinkedIn, platform jejaring profesional yang digadang-gadang sebagai ladang peluang. Namun, benarkah demikian? Saat menjelajahi platform ini, muncul kegelisahan melihat kontradiksi antara narasi sukses yang dibangun dengan realita yang dialami.
Pengguna LinkedIn, terutama dari kalangan mahasiswa, kerap memamerkan rentetan prestasi dan pengalaman. Seakan-akan peluang tersedia melimpah dan mudah diraih. Padahal, di balik layar, persaingan semakin ketat dan timpang.
Muncul pertanyaan, apakah proses seleksi benar-benar objektif atau sekadar formalitas untuk menyingkirkan sebagian besar pelamar? Apakah peluang hanya milik mereka yang memiliki karakteristik tertentu, yang dikonstruksi media sebagai standar kesuksesan?
Kegelisahan ini semakin menjadi saat menyadari bahwa partisipasi dalam organisasi, seminar, dan acara jejaring profesional tak menjamin kesuksesan. Bahkan, terkadang terasa hampa dan jauh dari esensi pengembangan diri yang sesungguhnya.
Pengalaman pribadi menunjukkan bahwa nama dan penampilan memiliki pengaruh signifikan. Penggunaan nama pena dan foto profil berbeda menghasilkan respon dan perlakuan yang berbeda pula. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bias dan diskriminasi dalam masyarakat.
Artikel ini merupakan ajakan untuk berefleksi. Apakah kita terjebak dalam ilusi kesuksesan yang dibangun media sosial? Bagaimana menciptakan dunia profesional yang inklusif dan adil bagi semua, terlepas dari latar belakang dan karakteristik mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H