Image: Wallpaperflare.com
Kota Mayadharma, kerajaan Kendiri
Malam itu terlalu sepi. Gonggongan anjing yang mencabik kesunyian di lorong-lorong kota tak lagi terdengar seperti malam-malam sebelumnya. Angin seperti bersembunyi di balik benteng, enggan menari-nari membunyikan lonceng setiap rumah di kota Mayadharma. Kota itu terlelap berselimut cahaya pucat rembulan dan udara hangat musim semi.
Ditengah kesunyian yang menenggelamkan itu, seorang lelaki paruh baya sedang sibuk menorehkan namanya ke dalam puluhan kertas perkamen yang tersusun rapi di atas meja di sudut kamar tidur. Berteman sebuah lentera tua, Ken Aji, Pattih kota Mayadharma larut dalam setiap tulisan yang ada di depannya. Sesekali ia mengelus-elus janggut yang mulai beruban di pipinya sambil meresapi setiap kata dan angka di dalam kertas perkamen. Walaupun malam telah memanggil, tak berarti setiap orang boleh meninggalkan pekerjaan mereka.
Ia mengangkat sebuah perkamen yang berisikan laporan prajurit yang dikirim sebagai bantuan ke Jayapur. Kota tersebut telah dikepung selama 6 bulan lamanya. Kali ini serangan kerajaan Ashur punya peluang yang besar untuk berhasil membobol benteng kota. Tentu saja itu semua berkat apa yang ia rencanakan. Beberapa hari kedepan mungkin sudah terdengar berita bahwa partai Kalaphanka telah menduduki pintu gerbang kerajaan Kendiri. Ia tersenyum, menghela nafas panjang, lalu meletakan perkamen itu ke meja.
"Ayahanda, sudah selesai kerjanya?"
Suara nyaring tersebut mengejutkan Ken Aji, membuatnya menoleh ke arah pintu kamar, sumber suara itu berasal. Seorang gadis kecil nampak menunjukan kepalanya dari balik pintu. Melihat ayahnya yang masih duduk, ia melangkah masuk dan menyerbu ke arah Ken Aji.
"Anantari, jangan mengagetkan ayah seperti itu." Seru Ken Aji sembari bangkit dari kursi.
Tubuh pria yang tadinya membungkuk itu kini berdiri tegap. Meskipun sudah berumur 40 tahun, ia masih memiliki postur tubuh yang gagah dan mantap, bahkan ketika tubuhnya terbalut jubah.
Senyum menghiasi wajahnya meskipun hampir tidak terlihat karena tertutup kumis dan janggut. Ia menyambut rangkulan Anantari yang berlari kearahnya dan mengangkat putri kecilnya setinggi kepala dan memberikan kecupan ke pipi, membuat kulit cerah sang putri menjadi memerah.
"Hehehe, habisnya.. aku sudah menunggu ayah sejak tadi, tapi ayah ngak juga datang ke kamarku." gerutu gadis berumur 9 tahun yang kini sudah berdiri di lantai. Ia mengenakan gaun tidur biru yang berubah kehijauan saat disinari cahaya lentera.
"Maafkan ayah, putriku. Pekerjaan ayah masih banyak. Ayah tak sempat menengokmu. Ayah kira kau sudah ketiduran, jadi ayah tak ingin membangunkanmu." kata Ken Aji sambil mengelus rambut hitam sehalus sutra milik putrinya.
"Ayahanda kan jarang berada di istana, jadi mana bisa aku tidur sebelum mendengar dongeng saat ayahanda sedang berada di sini? Kumohon, tidak apa-apa jika aku harus tidur di kamar ayah, asalkan aku bisa mendengar ayahanda bercerita. " rengek sang putri sembari menarik-narik jubah ayahnya.
Ken Aji menarik nafas panjang sembari menoleh pada tumpukan kertas diatas meja yang seolah tak ada habisnya. Kurasa aku butuh istirahat sejenak--pikirnya. Ia menghela nafas lalu tersenyum. "Baiklah... "