Sumber: Bola.com
"You can't reason with a tiger when your head is in its mouth" -Winston Churchill
Jarang-jarang nih saya membahas politik luar negeri. Meskipun mempelajarinya di bangku kuliah, topik politik luar negeri Indonesia sebenarnya sangat tidak menarik bagi saya. Ibarat sepak bola, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri sejatinya tidak punya kekuatan yang berarti di kanca internasional.Â
Kegagalan Indonesia menjamu negara-negara lain dalam pagelaran akbar sepak bola, Piala Dunia U20 meyakinkan saya akan ketidakmampuan pemerintah kita memaknai perannya dalam menjaga ketertiban dunia. Â Politik luar negeri bebas aktif yang menjadi citra negara Indonesia terdengar seperti omong-kosong yang diulang-ulang tanpa mampu mengaplikasikannya secara nyata.
Pada rabu (29/03/2003) FIFA mengeluarkan pernyataan resmi setelah mengadakakan pertemuan antara presiden FIFA, Gianni Infantino dan Ketua PSSI, Erik Tohir.
FIFA telah memutuskan, dengan menimbang situasi terkini, mencabut Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 2023. FIFA tetap berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam mentransformasi sepak bola pasca tragedi Kanjuruan.
Situasi terkini yang dimaksud oleh FIFA ialah bentuk protes yang diutarakan oleh politisi serta ormas yang menentang kedatangan tim Israel untuk bertanding di Indonesia. Pembatalan tersebut tidak memperhitungkan tragedi Kanjuruan yang terjadi pada bulan Oktober tahun lalu.
Protes diutarakan secara resmi oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster melalui surat yang ditujukan kepada PSSI, menolak kehadiran perwakilan tim Israel melakukan drawmatching yang akan diadakan di Bali. Beliau berpendapat bahwa kedatangan tim Israel bertentangan dengan asas yang dikandung dalam UUD 1945 tentang kebebasan yang merupakan hak segala bangsa.Â
I wayan mendasari argumentasinya dengan mengingat posisi Indonesia yang mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang kedaulatan bangsa Israel.
Sementara itu protes lainnya diutarakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Beliau meminta pihak penyelenggara agar tetap menjalankan pertandingan piala dunia tanpa melibatkan tim Israel, meskipun secara legal telah lolos pertandingan kualifikasi. Ganjar berpegang pada semangat pendiri bangsa, Ir. Soekarno yang ingin memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui sikapnya pada berbagai pertemuan internasional seperti  Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, serta Conference of the New Emerging Forces. (ga sekalian memperjuangkan Republik Indonesia Serikat aja, pak? mandat bung Karno juga loh itu.)
Protes kedua tokoh negara tersebut berbuah manis, karena kini tim Israel tidak akan bermain di Indonesia. Sayangnya tim Indonesia pun tidak dapat bermain membela negaranya di panggung bergengsi berskala internasional tersebut. Sungguh pencapaian yang membanggakan dari politisi kita.
Terlepas dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas hilangnya kesempatan untuk bertanding, kita perlu melihat seberapa efektifkah penolakan tersebut terhadap upaya pembebasan Palestina. Tentu saja negara Israel sedang ketar ketir karena tidak menyangka bahwa Indonesia, negara dengan posisi 151 rangking FIFA dan ekonomi perkapita urutan 113 di dunia mengancam keikutsertaan mereka di Piala Dunia.
Saat tulisan ini saya buat, presiden dan jajaran pemerintahan Israel pasti sedang sibuk merancang perjanjian perdamaian dengan negara kita. Â Mereka mungkin saja akan menjanjikan pengembalian wilayah Palestina kepada pemerintahan yang sebenarnya.Â
Atau mungkin sebaliknya, tim sepak bola Israel sedang memperbarui password serta visa negara Argentina karena akan bertanding disana.Â
Staregi diplomasi kedua politisi partai PDI Perjuangan tersebut melahirkan 2 pertanyaan bagi saya, antara lain:
- Mengapa Sepak Bola?
Piala Dunia U20 bukanlah satu-satunya kompetisi internasional yang mengikutsertakan delegasi dari Israel pada tahun ini. Pesta Olahraga Pantai Dunia 2023 yang akan diselenggarakan di bali justru luput dari pengawasan Gubernur Wayan dan tidak ada larangan dari tim Israel untuk mengikuti berbagai perlombaan pada bulan Agustus nanti.Â
Lalu mengapa piala dunia seolah mendapat perhatian spesial dari para politisi tanah air? Alasannya karena jangkauan olah raga sepak bola yang lebih luas. Sepak bola ialah olahraga yang telah menjelma menjadi "state religion" di Indonesia serta banyak negara besar di dunia. Para politisi yang bertujuan mengejar elektabilitas tentu melihat hal tersebut sebagai target empuk, sehingga ingin menungganginya untuk kepentinggan pribadi. (dikit lagi pemilu,ris... cari muka dikit ga apa kan?)
- Mengapa Israel?
Jika gubernur Ganjar dan Wayan berpendapat bahwa penolakan terhadap tim Israel lahir dari nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945, mengapa tak satupun dari mereka menentang serangan Rusia yang membumihanguskan Ukraina, atau negara Tiongkok yang menginvasi Tibet serta memasukan etnik muslim Ugyur kedalam kamp konsentrasi?Â
Isu tersebut sudah menjadi isu langganan yang seperti bola sepak, bisa digiring dengan fleksibel oleh para politisi. Opini masyarakat Indonesia yang memang mendungkung sepenuhnya kemerdekaan Palestina dimanfaatkan sebagai alat politik demi membangun citra "macan ompong" yang menjadi kekhasan politik luar negeri kita.
Dengan menggabungkan kedua poin sederhana diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa kepentingan politik domestik lagi-lagi menjadi alasan atas menumpulnya pengaruh Indonesia di dunia. Â Tokoh-tokoh politik yang Indonesia miliki saat ini sama sekali tidak paham akan begitu sempitnya ruang gerak Indonesia dalam membangun hubungan luar negerinya.
Secara hard power, Indonesia bukanlah negara yang mampu mengancam maupun merekonstruksi hubungan Israel dengan Palestina. Selama keberadaannya, Indonesia hanya mampu terpilih empat kali bergabung dalam Kursi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dua diantaranya diperoleh pada era sebelum reformasi dan dua lainnya pada tahun 2007 serta tahun 2018.Â
Posisi tersebut masih jauh dari negara-negara lain seperti, Jepang (11 kali),Brazil (10 kali) serta Argentina (9 kali). Pencapaian Indonesia selama keterlibatanya dalam dewan keamanan dunia bersifat reaktif tanpa membawa pengaruh yang signifikan. (Jangan terlalu jujur, ris)
 Selain itu, dalam upaya resolusi konflik Israel-Palestina Indonesia melakukan blunder besar ketika kita enggan membangun hubungan diplomatik dengan negara Israel. Diplomasi Indonesia yang berat sebelah tentu saja meruntuhkan kesempatannya sebagai negara yang bisa memberikan jalan tengah dalam mencari solusi terbaik atas konflik tersebut.Â
Meskipun demikian, Indonesia ternyata tetap membangun hubungan ekonomi yang baik dengan negara Israel. Pada tahun 2022, tercatat nilai ekspor komoditas dari Israel ke Indonesia sebesar USD 37.42 juta, bukti bahwa relasi kedua negara masih dapat berlangsung.
Oleh karena itu, Indonesia setidaknya masih memiliki soft power yang bisa diperhitungkan. Jika ajang piala dunia U20 ingin dijadikan panggung oleh tokoh-tokoh politik negara kita dalam memperjuangkan kebebasan Palestina, memastikan keberhasilan kompetisi tersebut ialah syarat mutlak yang harus dipenuhi.Â
Menjamu setiap anggota FIFA yang berkompetisi sebagai tuan rumah Piala Dunia menunjukan kedewasaan Indonesia yang tidak tebang pilih dalam menjalankan mandat "politik bebas aktif" para pendiri bangsa. Sayangnya politik di negara ini didominasi oleh para anak kecil yang rela mengorbankan harga diri Indonesia demi meraup dukungan publik.Â
Sebagai organisasi internasional, FIFA memiliki peraturan yang harus dipatuhi oleh anggotanya. Penolakan tim Israel untuk bertanding melanggar asas kesetaraan atau Fairplay yang dijunjung oleh FIFA. Akibat dari penolakan tersebut ialah menurunnya kepercayaan internasional terhadap kemampuan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia yang sedarinya sudah sangat kecil.Â
Kalau sudah begini siapa yang harus bertanggung jawab? tentu saja seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Politik internal Indonesia sangat dipengaruhi oleh opini publik. Politisi hanyalah mahluk subyektif yang bergerak sesuai dengan aspirasi populer, meskipun tidak menggambarkan kebenarannya. Penolakan tim Israel untuk bertanding di Indonesia berasal dari kepercayaan bahwa hal tersebut akan menaikan elektibilitas politisi serta partai bersangkutan.
 Memaknai konflik Israel-Palestina bukan hanya tugas pemerintah, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Kemampuan kita untuk mengerti konflik internasional dari kedua sisi tentu akan melahirkan pandangan sejajar politisi yang membawa aspirasi tanpa mempermalukan Indonesia di mata dunia.
Terimakasih sudah membaca.Â
sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI