Keduanya melangkah melewati orang-orang yang tengah sibuk mempersiapkan hari ini. Tiga pelayan nampak buru-buru membawa nampan berisikan daun kering yang terlilit api biru.
 Seorang pria bertubuh besar berteriak memberi perintah pada anak buanya yang sedang memasang tenda, ditemani puluhan ikan warna warni yang berenang mengitari perut buncitnya serta_ Apa?
"Hey, kenapa melamun?" Suara ben mengejutkan Arya.
"Ga apa-apa kok. By the way, makasih sudah mau membantuku, Ben." Ujarnya sembari tersenyum ramah.
"Biasa aja kali, Ar. Mana mungkin aku nolak jadi WO nikahan mu. Lagian aku juga dibayar." Sahut Ben memberi pukulan ringan ke lengannya.
Arya tertawa lembut sambil mendayung sampan yang ia naiki. Ia tidak menyangka hari ini akan tiba. Hari yang mana cintanya terjawab oleh sebuah ikatan seumur hidup. Ia akan menikahi wanita yang telah merebut hatinya sejak pertama kali mengenal cinta, Sintya.Â
Ia mengenal gadis itu sejak masih duduk di bangku putih biru. Gadis yang hanya duduk dibelakang kelas sembari membaca laksana permata yang mampu menarik mata si bocah untuk tenggelam dalam parasnya.Â
Mata yang berbinar laksana cermin dibawah mentari, hidung yang anggun menjulang, serta senyuman lebar yang menyembunyikan bibir dibawah barisan gigi putih begitu indah dimata Arya.
 Seperti baru kemarin ia mengajak si gadis bicara. Melawan peluh dingin serta tubuh yang gemetaran, Arya memberanikan diri berkenalan. Namun seperti disiram cuka, hanya wajah culas nan risih yang jadi hadiah bagi si bocah.
Nasib baik muncul ketika ia tahu Sintya menyukai buku-buku novel. Meski tak senang membaca, Arya memaksakan diri untuk membenamkan mata pada ribuan kata-kata penuh cerita dan drama. Semua itu ia lakukan agar gadis idaman mau membukakan hati, memberi celah bagi perasaan si bocah.Â
Usahanya tidak sia-sia. Tidak ada hari dalam ruangan kelas yang tidak mereka habiskan bersama, meludah tentang cerita yang mereka baca. Seiring waktu bergulir, mereka tak sekedar menjadi sahabat aksara namun tempat untuk berbagi suka dan duka.Â