Adalah Roland Barthes, seorang filsuf dan kritikus sastra yang lahir di Cherbourg -- Normandia, pada 12 November 1951. Ia dibesarkan oleh ibunya di kota Bayonne sepeninggal ayahnya yang menjadi korban perang di Laut Utara. Dalam kehidupan intelektualnya, Barthes boleh dikatakan mendapat pendidikan yang baik.
Ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sorbonne dengan merahi gelar sarjana pada kesusastraan klasik (Barthes, 2006:xi). Ia juga belajar ilmu-ilmu linguistik, semiologi, strukturalisme, dan sempat mengajar bahasa Perancis di Rumania dan Mesir. Ia banyak menulis artikel di media massa yang berhaluan kiri (Lavers: 1982:267).
Ada dua filsuf besar yang cukup signifikan mempengaruhi Barthes. Mereka adalah Ferdinand de Saussure dan Jean-Paul Sastre. Ilmu semiologi yang diperkenalkan Saussure, terutama dalam bidang linguistik, sangat mempengaruhi panorama pemikiran Barthes tentang semiologi. Sementara itu, Jean-Paul Sartre memberi kontribusi tentang wacana sastra. Barthes berasumsi bahwa sastra adalah sarana penguji bagi pemikirannya.
Tentang konsep mitos dan simbol, dalam bukunya yang berjudul Mitologi, Barthes mengartikan mitos sebagai tipe wicara yang di dalamnya terkandung sistem komunikasi (Barthes, 2004:151). Mitos bukanlah sembarang tipe, namun di dalamnya terkandung pesan bahwa mitos bukanlah ide, konsep atau objek. Mitos merupakan cara pemaknaan sebuah bentuk (Barthes, 152). Mitos sebagai sebuah bentuk mengandaikan adanya pembatasan historis, syarat penggunaannya dan masyarakat yang ada di dalamnya.
Menurut Barthes, tujuan objek mitos berdasarkan substansinya hanyalah bualan belaka, "sebab mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana" (Barthes, 152). Sebuah mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun mitos tersebutlah yang mengutarakan pesannya sendiri dalam batasan-batasan formalnya.
Segala sesuatu dapat saja menjadi mitos karena dunia ini dipenuhi oleh berbagai kebijaksanaan dan sistem kepercayaan. Segala obyek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam atau tertutup menjadi eksistensi oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, sebab tidak ada hukum, baik alamiah atau tidak, yang melarang orang berbicara tentang aneka hal (Barthes, 152).
Mitos sebagai sebuah wicara karena perjalanan sejarah manusia sendirilah yang mengubah realitas menjadi wicara. Perjalanan sejarah tersebutlah yang menjadi proses hidup atau matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak, mitos hanya bisa memiliki landasan historis, karena mitos adalah tipe wicara yang dipilih oleh sejarah: "mitos tidak mungkin berkembang dari 'sifat dasar' berbagai hal" (Barthes, 153). Dengan demikian, perjalanan sejarah atau peradaban memiliki pengaruh yang besar terhadap keberadaan atau eksistensi mitos.
Sebagai tipe wicara, mitos mengandung sebuah pesan moral, kepercayaan atau perihal kebijaksanaan hidup. Pesan-pesan tersebut dapat terdiri dari gaya tulisan atau representasi, namun juga berbentuk simbol-simbol adat-istiadat atau kebudayaan lokal yang semuanya dapat berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 153).
Sebuah mitos hanya dapat dijelaskan oleh maknanya. Wicara mistis dibangun oleh materi yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok untuk komunikasi, "itu karena semua materi mitos (apakah berbentuk gambar atau tulisan) mengisyaratkan sebuah kesadaran akan pemaknaan" (Barthes, 154). Dengan demikian, substansi dari sebuah mitos adalah maknanya.
Sementara itu, dalam ilmu semiologi Barthesian, simbol menjadi salah satu elemen penting untuk membicarakan tentang mitos. Simbol sendiri dibahasakan sebagai tanda dalam teori Barthes tentang mitos. Untuk mengerti tentang tanda, Barthes membaginya ke dalam dua bentuk: penanda dan petanda.