Hans-George Gadamer, seorang filsuf yang lahir di kota Marburg - Jerman pada tanggal 11 Februari 1900. Ia terlahir dari keluarga Protestan yang berkecukupan. Gadamer sempat memperlajari sastra, sejarah seni, psikologi, dan filsafat di Universitas Bresleu di Polandia pada awal 1918 (Hardiman, 2015:155). Bebebrapa bulan belajar di Bresleu, ia kemudian pindah mengikuti ayahnya ke Marburg.
Di Marburg, Gadamer dididik dalam lingkaran akademik yang kuat berhubung ayahnya adalah seorang profesor kimia yang sempat menjabat sebagai rekto Universitas Marburg. Berbeda dengan ayahnya yang fokus pada ilmu-ilmu alam, Gadamer justru menaruh minatnya pada ilmu-ilmu sosial seperti filsafat. Dalam mengembangkan filsafatnya, ia berguru kepada Martin Heidegger. Sehingga amatlah jelas filsafatnya banyak dipengaruhi oleh panorama pemikiran Heidegger.
Konsep hermaneutika Gadamer sudah tidak asing lagi bagi masyarakat modern abad ke-21 ini. Ia paling kurang menjadi rujukan utama ketika membicarakan tentang hermaneutika. Apa itu hermaneutika? Hermaneutika berasal dari bahasa Yunani: hermeneuen (menafsir) dan hermeneia (penafsiran). Kedua istilah ini diambil dari nama seorang pembawa kabar baik yaitu Hermenes Ton Theon atau yang sering dikenal dengan nama Hermes.
Hermes memiliki kemampuan menyampaikan pesan-pesan suci dari Dewa-Dewi kepada manusia agar dapat dipahami dengan baik. Dalam menyampaikan pesan, Hermes memiliki kemampuan membahasakan, menerangkan dan menerjemahkan pesan-pesan dengan tepat (Gusmao, 2013:21-22). Pesan yang disampaikan sangat jelas sehingga manusia langsung memahami isi pesan tanpa harus menafsirnya lagi.
Dimensi Filosofis Hermaneutika
Konsep hermaneutika Gadamer tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh filsafat Heidegger. Gadamer melanjutkan kontribusi Heidegger pada hermaneutika secara khusus konsepnya tentang "Being and Time". Hermaneutika di bawa selangkah lebih jauh ke dalam kata "linguistik" dengan sebuah pernyataan kontroversialnya yaitu, "Ada (Being) yang dapat dipahami adalah bahasa".
Hermaneutika adalah pertemuan dengan ada (Being) melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia itu sendiri dan hermaneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa yang ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas. Oleh karena itu, hermaneutika diletakkan dalam pusat persoalan filosofis yang tidak bisa lari dari persoalan-persoalan epistemologis dan ontologis (Palmer, 2005:47).
Karya Gadamer, Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) (1960), memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermaneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh objek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat perhatian dari Gadamer. Berkaitan dengan hal ini Gadamer mengatakan, "semua yang tertulis pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai objek hermaneutika".
Menurut Gadamer, hermaneutika berkaitan pula dengan pengalaman bukan hanya dengan pengetahuan. Berkaitan dengan dialektika, bukan dengan metodologi. Metode dalam pandangannya bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran. Kebenaran akan mengelak jika kita menggunakan metodologi. Bagi Gadamer, metode tidak mampu mengesplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Hermaneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap kebenaran serta menemukan hakikat realitas segala sesuatu secara sebenarnya (Kaelan, 2002:209).
Kerangka hermaneutika Gadamer berangkat dari paradigma Heidegger tentang pembalikan ontologis dalam hermaneutika. Gadamer rupanya bergerak lebih jauh lagi dengan meneliti konsekuensi dari pembalikan itu terhadap ilmu-ilmu humaniora. Dalam rangka itu Gadamer mengkombinasikan pendekatan ontologis-eksistensial Heidegger khususnya tentang pemahaman sebagai bentuk penyingkapan diri dengan ide Bildung (pendidikan dalam kultur).