Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Money Politics: Ambil Uangnya, Lapor Orangnya!

26 September 2023   22:32 Diperbarui: 27 September 2023   01:29 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14 Februari 2024 sudah mulai dekat. Sisa lima bulan. Tanggal itu bukan saja merupakan Hari Kasih Sayang (Valentine Day) tetapi sekaligus dilaksanakannya pesta demokrasi bangsa Indonesia. Para bakal calon Presiden, Gubernur, Wali Kota, DPR, dan DPD sudah mengambil ancang-ancang sedari awal. Bukan baru bergerak hari ini. 

Eskalasi kampanye di pusat maupun daerah tentu meningkat. Banyak baliho sudah dipasang dimana-mana. Bahkan para bakal calon sudah mulai "mencuri start" dengan melakukan kampanye secara diam-diam sebelum Komisi Pemilihan Umum menetapkan waktu untuk kampanye.

Model kampanye yang dilakukan para kontestan ini sangat unik. Mereka menggunakan berbagai cara seperti melakukan provokasi kepada masyarakat, memajang baliho berserta visi-misi, menggunakan media massa cetak maupun elektronik sebagai alat propaganda, memanfaatkan media sosial (Facebook/Instagram/TikTok/Line), membagi-bagikan uang dan sembako, dan yang paling tidak rasional adalah memohon bantuan kekuatan "alam gaib" dengan melakukan ritual-ritual tertentu.  

Salah satu siasat busuk para bakal calon yang selalu menjadi polemik di ruang publik pada tiap momen Pemilu adalah money politics atau politik uang. Praktik di kalangan bakal calon dan tim suksesnya ini seakan sudah menjadi lumrah di negara ini. Praktik ini dilakukan dengan cara memberikan uang atau barang kepada pemilih dengan tujuan untuk mempengaruhi pilihan mereka. 

Model praktik ini pada tiap tahun politik tetap sama; rakyat disuguhkan dengan "uang kaget" atau barang. Bukan dengan ide, integritas dan kapasitas. Aneh bin ajaib, praktik yang tidak terpuji dalam dunia politik ini terus berlangsung sejak beberapa dekade terakhir dilaksanakannya Pemilu sampai saat ini.

Para bakal calon ini tentu menyadari siasat itu (money politics) dengan menyasar rakyat. Mereka cukup cerdas memanfaatkan kapasitas rakyat yang notabene kurang berpendidikan. Tentu rakyat yang kurang berpendidikan sangat potensial dijadikan sebagai objek dalam rangka meraup suara terbanyak. 

Namun, yang kurang disadari para bakal calon dan tim suksesnya adalah bahwa hari ini rakyat sudah semakin sadar. Sekalipun tidak berpendidikan tinggi, mereka sudah cukup cerdas. Mereka sudah belajar dari pengalaman pemimpin-pemimpin mereka yang korup dan tidak mengakomodir kepentingannya. Kesalahan dalam memilih pemimpin sudah sangat mendewasakan mereka.  

Di beberapa daerah, jargon "ambil uangnya, jangan pilih orangnya" dikampanyekan rakyat sebagai bentuk tanggapan atas praktik money politics. Pertanyaannya adalah apakah dengan mengkampanyekan jargon ini harapan kita bersama untuk menciptakan iklim demokrasi dalam Pemilu yang jujur, bebas, adil, benar-benar terlaksana?  Tentu tidak.

Jargon ini seakan mau membenarkan praktik money politics. Secara moral, tindakan itu tentu buruk. Uangnya diambil namun orangnya tidak dipilih. Lebih dari itu, money politics merupakan perbuatan melawan hukum. Praktik ini dapat berdampak negatif terhadap demokrasi, yaitu:

  • Masyarakat tidak dapat memilih secara bebas sesuai hati nuraninya. Mereka akan terpatron pada bakal calon yang memberikan mereka uang sekalipun bakal calon itu tidak berintegritas, tidak memiliki kapasitas dan kurang cakap secara intelektualitas.
  • Masyarakat semakin tidak percaya pada nilai demokrasi yang telah dibangun. Praktik money politics akan sangat besar dampaknya pada ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem nilai yang adil dan jujur dalam berdemokrasi pada Pemilu yang diselenggarakan.
  • Meningkatkan korupsi. Money politics mengakibatkan para bakal calon lupa pada janji kampanyenya. Mereka akan sibuk mengembalikan utang politik tanpa bekerja keras karena menganggap telah lunas membayar suara rakyat. Akibatnya, seluruh program kerja terbengkalai, janji hanya tinggal janji, korupsi terjadi dimana-mana dan masyarakat semakin melarat.

Yang menjadi problem utama di sini bukan soal uang atau orangnya namun terhadap sistem nilai kejujuran dan keadilan sebagai landasan demokrasi dalam Pemilu berantakan sekejap akibat praktik kotor ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun