Mohon tunggu...
ariq nabagakan
ariq nabagakan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka aja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Melatih Hati a la Yesuit

19 Maret 2024   11:11 Diperbarui: 14 Mei 2024   13:22 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir abad pertengahan, Gereja mengalami keadaan yang kaya akan kekuasaan politik dan ekonomi, namun juga tercemar oleh korupsi, ketidakmoralan;  konflik internal hingga akhirnya semuanya memuncak dan mengevaluasi kembali nilai-nilai spiritual Kristiani. Penjualan indulgensi menjadi salah satu tindakan yang menggambarkan kondisi Gereja pada saat itu. Tindakan yang menyalahgunakan iman umat Kristiani ini menyebabkan Luther marah dan mengumumkan 95 thesis di Wittenberg. Seruan ini yang membuat adanya desakan akan pengetahuan iman kepada umat Kristiani. Hingga pada akhirnya, Gereja Katolik menjalani Konsili Trente yang memulai adanya Kontra-Reformasi dimana Gereja tumbuh lebih spiritual, lebih terpelajar dan lebih berpendidikan.

Ignatius, yang sangat berkomitmen pada iman Katoliknya, merasakan adanya panggilan untuk terlibat aktif dalam pekerjaan Gereja setelah kakinya dihantam peluru meriam di benteng Pamplona. Ia melihat perlunya individu-individu terdidik dan berdedikasi yang dapat membela ajaran Katolik, menjangkau mereka yang terkena dampak Reformasi, dan mempromosikan iman yang lebih pribadi dan spiritual. Pada tahun 1540 dengan persetujuan Paus Paulus III, ia dan sahabatnya mendirikan Serikat Yesus. Para Jesuit terkenal karena komitmen mereka terhadap pendidikan, ketelitian intelektual, penjangkauan misionaris, dan spiritualitas. Untuk bergabung membutuhkan pelatihan beberapa tahun dan kode disiplin yang ketat. Hal ini untuk menghindari kondisi Gereja yang korup, tidak bermoral, dan imam yang tidak kompeten. Mereka juga mendirikan sekolah humanistik dengan pengajaran agama. Karena salah satu penekanan Protestanisme adalah literasi yang lebih luas. Mereka memainkan peran penting dalam upaya Kontra-Reformasi, berupaya mengatasi kekhawatiran yang diangkat oleh para reformis Protestan namun tetap setia pada doktrin Katolik. 

Melihat dari penjelasan sebelumnya, semangat Ignasius terbentuk dari konteks sejarah dan budaya pada saat itu, namun semangat itu pada dirinya sendiri mempunyai daya untuk menerobos kungkungan sejarah serta budaya. Ignasius percaya akan kehadiran aktif Allah dalam seluruh kegiatan manusia sehingga Yang Ilahi dapat terus menerobos kungkungan setiap budaya tertentu untuk mewahyukan siapakah Allah dan yang Ia rindukan. Oleh karena itu, dari cara spiritualitas ignasian mengembangkan jalan dan cara untuk mengenal campur tangan ilahi memberikan keunikan tersendiri. 

 Karl Rahner, seorang Yesuit dan teolog terpandang, pernah berkata kepada juniornya, "Imanmu adalah iman rakyat setanah airmu, iman yang naif tapi benar." Ucapan itu membawa kita kepada apa yang pernah ditulis oleh jurnalis dan satiris kurt Tucholsky, "Rakyat umumnya mengerti dengan salah, tetapi umumnya pula mereka merasa dengan benar." Semangat Ignatius dan para sahabatnya untuk merasul kepada seluruh dunia adalah spiritualitas awam, bukan spiritualitas kebiaraan maupun monastik. Ignasius dan para sahabatnya diliputi kenaifan penghayatan iman dan perasaan-perasaan iman yang sangat menentukan perjalanan rohani mereka. Bahkan dalam dua puluh catatan awal Latihan Rohani tujuannya bukan untuk menerangkan misteri-misteri rohani atau mencerahkan budi kita melainkan untuk menanggapi - sebuah tanggapan khusus, yakni jawaban hati. 

Blaise Pascal, seorang filsuf perancis, mengatakan dalam fragmen tulisannya Pensees bahwa "the heart has reasons which the mind does not understand." Hal ini bukan menunjukkan sebuah pembelaan untuk mengutamakan perihal 'hati' di atas 'akal'. Melainkan, untuk menjelaskan bahwa hati memiliki logika tersendiri. Hati itu benar-benar rasional jika itu adalah benar-benar hati. Hati itu melampaui dari sekadar rasa peduli dan pemahaman intelek saja. Hati mengacu pada orientasi dalam inti keberadaan kita, seluruh hasrat dan komitmen terdalam, saat menghadap Allah. Yesus mengamati bahwa hati bisa jauh berbeda dengan tindakan kita: "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari-Ku." (Mat 15:8). Ignatius memahami makna hati tersebut lantaran ia alami sendiri setelah pertobatannya di Pamplona. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun