Sabtu malam (27/08/2016) hawa di Lereng Gunung Sindoro tidak terlalu dingin. Hujan deras yang mengguyur kawasan ini sejak sekitar pukul 16.00 WIB tadi, nampaknya menjadi penyebab hawa malam ini terasa lebih manusiawi -saya bahkan tidak mengenakan jaket ketika menulis ini- dibanding hawa di Lereng Gunung Sindoro pada malam hari seperti biasa terjadi. Seperti penulis simak dari pemberitaan media masa beberapa waktu lalu, tahun ini, negara kita mengalami Musim Kemarau Basah, dengan intensitas curah hujan yang tinggi sepanjang musim kemarau di hampir seluruh Wilayah Indonesia, menjadikan musim kemarau tahun ini kita lewati bak Musim Penghujan. Bukti nyata sore ini, hujan mengguyur deras di bawah langit yang menggelayut hitam pekat. Musim Kemarau Basah yang saat ini terjadi, merupakan momok, kekhawatiran besar bagi Petani Tembakau di kawasan ini.
Penulis bukan perokok, dan sangat memahami segala dampak buruk yang ditimbulkan oleh sebatang rokok. Tetapi penulis akrab dengan bahan dasar rokok yaitu Tembakau, karena penulis berada di tengah-tengah komoditas ini sejak dilahirkan. Setahu penulis, Tembakau sudah menjadi komoditas unggulan di kawasan ini sejak zaman Penjajahan Belanda, tepatnya di Lereng Gunung Sindoro dan Lereng Gunung Sumbing, yang secara administratif, sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Temanggung, sebagian kawasan juga masuk wilayah Kabupaten Wonosobo (Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing) dan Kabupaten Magelang (Gunung Sumbing).
Seperti penulis kutip dari penuturan Guru SMP dulu, Belanda paham bahwa komoditas yang paling cocok untuk kawasan dengan ketinggian seperti kedua gunung ini adalah Tembakau. Sehingga tembakau dikembangkan dan bahkan menjadi komoditas unggulan kawasan ini. Tembakau yang dihasilkan dari kawasan ini merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia. Sementara, daerah dengan ketinggian kawasan yang lebih tinggi dari Kabupaten Temanggung, seperti Kabupaten Wonosobo sangat cocok untuk pengembangan Komoditas Teh. “Itulah kenapa Perkebunan Teh banyak dijumpai di Kabupaten Wonosobo yang letaknya lebih tinggi dari Kabupaten Temanggung” papar Guru SMP penulis dulu.
Dalam perkembangannya, Tembakau bermetamorfosa menjadi komoditas unggulan, bahkan menjadi ikon Kabupaten Temanggung. Masa Panen Raya Tembakau yang jatuh pada bulan Juli, Agustus, sampai September setiap tahunnya, selalu dinanti bukan hanya oleh petani Tembakau, tetapi oleh segenap elemen Masyarakat Temanggung. Bagi Petani Tembakau, masa tiga bulan panen raya ini seakan sangat menentukan bagaimana keberlangsungan hidup mereka pada bulan-bulan berikutnya, bagaimana mereka memutar kembali modal untuk musim tanam berikutnya maupun sekedar menambah pundi-pundi kekayaan mereka. Bagi pedagang, kesuksesan Panen Raya Tembakau berimbas pada daya beli masyarakat yang kian tinggi, sehingga barang dagangan apapun akan laku keras, begitu pula sebaliknya.
Kota Parakan, seakan tumbuh menjadi Pusat Perekonomian Kabupaten Temanggung karena menjadi tempat persinggahan pertama komoditas ini pasca panen dari tangan petani. Memasuki musim panen, Kota Parakan, sampai desa-desa di kedua gunung ini, penuh dengan hiruk pikuk aktivitas olahan Tembakau. Aroma Tembakau kering tercium semerbak harum di udara yang bercampur dengan debu tanah yang berterbangan. Lalu lintas kendaraan pengangkut Keranjang Tembakau merayap pelan naik turun gunung. Senyum lebar para petani mengantongi uang hasil penjualan Tembakau jamak dijumpai di jalan-jalan.
Nuansa coklat jemuran tembakau rajangan, serta tanaman tembakau yang menguning kecoklatan, menjadi pemandangan umum di kawasan ini. Dari kejauhan, warna Tembakau saat musim panen ini seolah sebuah cincin emas yang melingkari kedua gunung ini. Munculah pepatah itu, Tembakau, emas hijau Kabupaten Temanggung. Namun, hal ini terjadi, apabila musim kemarau berlangsung panas terik, bukan Musim Kemarau Basah seperti tahun ini. Emas Hijau dari Temanggung ini sangat bergantung pada cuaca.
Bagi Petani Tembakau di kawasan ini, Musim Kemarau Basah merupakan kekhawatiran besar. Nuansa panen raya yang dinantikan dengan suka cita, dengan harapan besar, seolah terpaksa disambut dengan perasaan was-was karena cuaca yang tidak mendukung. Hal ini karena pertama, curah hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan akar Tembakau cepat membusuk, berdampak daun Tembakau layu tidak sehat atau istilah umum yang dipakai Petani Tembakau di kawasan ini yakni teler (dengan pengucapan serupa dengan kata “Es Teler”).
Kedua, kualitas jemuran rajangan Tembakau sangat bergantung teriknya sinar matahari. Mendung atau hujan membuat jemuran rajangan Tembakau tidak kering, yang akan menurunkan kualitas Tembakau Kering, terutama dari segi aroma dan rasanya ketika dihisap. Jemuran rajangan Tembakau ini harus benar-benar kering saat dijemur di hari pertama, itulah mengapa pembeli Tembakau kering menentukan harga beli pada hari pertama Tembakau dijemur. Ketika, jemuran rajangan Tembakau tidak kering di hari pertama menjemur ini, kualitas Tembakau akan turun, harga jual turun, dan petani merugi. Parahnya, Musim Kemarau Basah tahun ini merupakan salah satu yang terburuk dalam satu dekade terakhir. Bahkan sampai akhir Bulan Agustus ini saja, belum nampak perusahaan rokok yang membuka gudang mereka untuk membeli Tembakau petani. Di sisi lain, petani harus segera mengolah Tembakau mereka jika tidak ingin semakin merugi dengan teler-nya Tembakau mereka di sawah.
Tembakau sangat bergantung dengan cuaca. Musim Kemarau Basah berarti kerugian besar, tidak hanya bagi petani, pedagang, tetapi juga sebagian besar elemen masyarakat di Temanggung. Itulah sebabnya, berbagai penyuluhan dilakukan agar petani di kawasan ini, tidak hanya menggantungkan hidup dari komoditas ini. Sebagian petani berhasil move on dari Tembakau dengan fokus menggarap komoditas lain yang tak kalah menguntungkan seperti Bawang Merah, Cabe, dan yang mulai dikembangkan, Kopi Arabica. Sebagian yang lain, masih gagal move on dengan hanya mengandalkan Tembakau, mereka yang gagal move on ini beranggapan, menanam komoditas lain sama halnya dengan merusak kualitas tanah yang akan berdampak buruk pada tanaman Tembakau pada musim tanam berikutnya.
Uniknya, bagi petani di kawasan ini, baik bagi petani yang berhasil move on maupun yang gagal move on dari tanaman Tembakau, sampai saat ini, masih merasa wajib ain untuk menanam Tembakau setiap musim tanam Tembakau datang. Bagi mereka, menanam Tembakau seperti menanamkan sebuah hope, sebuah harapan besar di hati mereka. Menanam Tembakau seolah harapan bagi para petani mewujudkan mimpi-mimpi besar mereka; membangun rumah yang megah, memiliki sawah yang luas, menjadi tamu Allah ke Tanah Suci, menyekolahkan putra-putri mereka ke perguruan tinggi. Sebaliknya, ketika mereka memutuskan untuk tidak menanam Tembakau, seolah tidak ada harapan besar di hati mereka untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar mereka. Jadi bagi mereka, mereka ingin terus menanam Tembakau, apapun kondisinya untuk mewujudkan impian besar mereka.
Sementara itu, bagi penulis sendiri, sejahat-jahatnya orang, adalah mereka yang tega, mematikan harapan orang lain untuk mewujudkan mimpi besar mereka. Ihwal hasil akhirnya seperti apa, setidaknya mereka berani memiliki mimpi besar, serta memiliki semangat untuk mewujudkannya, karena harapan besar mereka, tidak pernah mati di hati mereka. Setiap orang berhak untuk tidak mengonsumsi Tembakau, sangat berhak. Penulis hanya ingin berbagi semangat penulis yang tidak ingin mematikan harapan orang lain dalam mewujudkan mimpi-mimpi besar mereka.