Adakah seorang pendeta yang suka berkendara dengan sepeda motor ke desa-desa, bermain gitar dan nge-blues di panggung, minum bir, nongkrong di pub, jaket wolnya kumal, ngerokok dengan cangklong, bicara tentang teologi dan sastra, suka nulis soneta, yang juga seorang akademisi paling dicari para pemburu ilmu? Pendeta macam itu kiranya anomali, tapi Malcolm Guite adalah salah satunya.
Apa yang membuatnya melakukan segala hal sehingga hari-harinya terbayang begitu padat namun juga menyenangkan? Mungkin karena dia tidak sekadar pendeta Anglikan, tetapi karena dia pendeta yang nyeniman. Hanya dengan cara memasuki hidup dalam beragam-ragam hal maka manusia dapat meraih beragam hal juga. Kata-kata yang menjelma puisi selalu perlu pengalaman tubuh yang membawanya serta.
Kita mungkin ingat istilah "puisi kamar", yakni puisi yang ditulis oleh penyair tanpa jalan-jalan ke memasuki kehidupan nyata dan menyalakan percakapan dengan siapa saja. Penyair macam itu terkurung oleh kata-kata. Kalau begitu ada dong karya-karya kamar lainnya sejauh ditulis tanpa tubuh yang berkeringat? Banyak! Lebih banyak buku ditulis dengan kerja kamaran daripada tubuh yang berjalan.
Dosen yang tugasnya mengajar/belajar, meneliti, dan mengabdi, tak mungkin kerja bertaruh kehadiran. Sejumlah kampus menerapkan pola kerja yang aneh bahwa dosen harus mengisi atau mengklik kehadiran tiap hari sebelum pkl. 08.00 dan pulang setelah pkl. 16.00. Kalau tidak, mereka akan dikurangi jatah sangunya. Saat mereka meneliti di lapangan, mengisi kehadiran daring tidak mungkin lagi. Kampus akhirnya tak lebih dari "kamar kedua" mereka.
Jadi bagaimana dapat meraih kata-kata dari buku besar kehidupan jika hidup hanya berpangku pada buku kecil tradisi kamar pertama dan kamar kedua? Penting kiranya para akademisi membaca puisi Guite macam yang ini: Cahaya pertama dan kemudian garis pertama di sepanjang timur/Untuk menyentuh dan menyikat kemilau cahaya di atas air/Seolah-olah di balik langit itu sendiri mereka menelusuri/Pergeseran dan kilau sungai lain... dst. (lihat puisi "O Oriens").
Â
Apakah mugkin tradisi kamar menangkap buku besar macam itu: cahaya pertama, garis sepanjang timur, kemilau di ata air, dst.? Dulu dosen saya di UGM Prof Damarjati Supadjar alm. bilang kemerosotan tradisi akademik disebabkan para akademisi buta baca buku besar.Â
Tapi ada yang lebih mengerikan lagi, yakni kampus-kampus yang buku-buku kecil pun tak pernah dibaca para dosen dan mahasiswanya! []
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H