Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paradoks E.M. Cioran

3 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 3 Juni 2022   12:07 2414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Maka saya katakan kepada teman saya itu, yang mabuk perjalanan itu.  Begini saya bilang: "Kalau polisi tidur kamu pikir sebagai perhentian, maka berbagai paradoks dalam sains dan mungkin juga agama, atau dalam seni, dalam sejarah, tidak hanya filsafat, bagimu juga perhentian. Celakalah kamu! Tamatlah kamu di perjalanan membaca pemikiran dunia dan ternyata yang mengalahkan kamu kamu cuma polisi tidur. Kamu memang tidak pantas melakukan perjalanan lagi."

Ya, jadi, dialah orang yang dimabuk perjalanan, bukan dimabuk filsafat.

Kalau Anda bertanya apa itu paradoks, dan mungkin mengiranya sebagai kata dengan muatan makna negatif, atau paling tidak jebakan filsafat yang tak dapat dihindari, mungkin filosof Perancis Emile Cioran tadi adalah salah satu yang tidak bisa menghindarinya. Tapi mau bagaimana lagi! 

Jika ia menghindari paradoks, ia tidak akan mampu mengatakan kepada kita mengapa kita harus menciptakan bentuk dan memandangnya sebagai kreativitas---seperti, katakanlah, penyair menulis puisi. Sebab sepanjang ia bersetuju dengan sikap "tertutup di dalam diri selamanya" itu lebih baik dan itulah kreativitas yang sebenarnya, ia tidak akan mampu menuliskan esainya tentang perasaan lirikalitas itu, atau dalam esai-esai lain dengan paradoks-paradoks lainnya.

Cioran bertanya tidakkah sebaiknya kita tetap bersikap intim dengan kekacauan jiwa kita masing-masing tanpa mencari-cari dan mengusahakan bentuk pengucapannya (macam dalam penulisan puisi tadi), dan dengan demikian seharusnya Cioran sendiri diam dong, jangan mengusahakan menjawab mana yang lebih kreatif, menikmati derita atau menuliskan derita. 

Dan dia menulis, itu artinya dia sendiri ada di dalam bentuk-bentuk pernyataan tentang hal yang ia katakan seharusnya tidak usah dikatakan! Itulah paradoks yang nyata dari Cioran.

Kita harus menutup mata dengan jari terbuka dalam kasus ini. Maksudnya, kita tahu itu paradoks, tapi jangan karena itu kita lalu memandang filsafat itu buntu hingga akhirnya hanya menertawakan filosof macam Cioran, dan akhirnya lupa dengan pikiran-pikiran dia yang luar biasa itu atau yang lainnya.

Kalau Anda termasuk penyair yang kini memilih setuju dengan Cioran, tidak menulis dan menikmati derita batin sebagai kreativitas sebenarnya, itu artinya Anda sudah mengambil manfaat juga dari Cioran dan lupa dengan paradoksnya. Sejauh ada manfaatnya, paradoks dapat dilupakan dan bukan unsur pengganggu, apalagi kebuntuan tadi.

Lagi pula Cioran sendiri mengakui, bahwa memang hanya sedikit dari kita yang tidak mungkin sanggup menampung semua derita batin dengan tanpa mencari bentuk pengungkapannya. Siapakah mereka? Cioran sendiri tidak menjawab. Apakah para Nabi? Tidak pula Cioran menjawab, toh para Nabi itu akan memanjatkan doa juga kepada Tuhan dan itu artinya mereka meledakkan juga derita batin mereka, doa adalah bentuk.

Paradoks dengan demikian benar-benar tidak dapat dihindari dan biarlah ia menjadi virus dalam penuturan-penuturan filsafati. Yang lain, jangan ambil bagian jika tidak mau arif. Arif tidak sama dengan lebih benar, tetapi dengan ketiadaan jalan selain alternatif, betapa pun jalan itu paradoks. Dan memang benar, filsafat tidak berjalan di jalan tol.

Saya bersyukur salah satu buku Cioran On the Height of Despair telah tiba juga di Indonesia dengan wajah berbahasa Indonesia, Di Puncak Keputusasaan, terjemahan Lutfi Mardiasyah, penerjemah yang saya kagumi, dan Anda sekalian dapat membaca dengan lebih mudah untuk melihat dunia dari jalan-jalan lain yang tidak pernah Anda lewati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun