Kuterima takdirku sebagai perindu yang baik. Tak peduli pagi, siang, sore atau malam selalu dalam timangan rindu, terayun-ayun dalam vibrasi kata rindu. Susah senang dihajar rindu, gelisah, haru, takjub, jengkel, tertawa, menahan pipis direcoki rindu. Rindu tempo dulu, saat tubuh kecil masih membersamai jiwaku.
Bila musim kembang jambu air tiba, aku rindu merah fusia warnanya, bergerombol menjuntai membebani setiap dahannya, membuat batang pohon seperti terengah engah berteriak minta tolong bila diterpa angin, untuk alasan itu aku akan lari tergopoh gopoh memetiknya banyak-banyak, hingga sekonyong konyong tangan nenek tua akan menjewer telingaku, sembari mengomel penuh tenaga.
"Jangan nyolong lagi ... codot kepala item !!!". Â Â
Bila musim cabai keriting merah tiba, Aku rindu nasi kucing bu Zarkasih istri penjaga kantin sekolah dasar, sambal tanpa bijinya ibarat perpaduan irama gambus dan dangdut koplo, membuat setiap murid SD Pucangan V rela tercepuk cepuk berjejalan antre, dorong mendorong saling sikut, saling gertak adu mulut, jambak-jambakan rambut hingga tak pelak penuh tangis bocah ingusan, hanya untuk meraih nasi hangat berlauk bandeng dan sambal terenak di dunia hingga ludes tak bersisa.
Bila musim panen tebu tiba, aku rindu marah besar sang penjaga tebu. Lengan baju disingsingkan hingga atas, mata melotot menahan tangis sedih, karena bisa jadi akan diomelin habis oleh pimpinan perusahaan. Rupanya ia terkecoh oleh kebegundalan anak-anak dusun, tebu rapi dan indah dibarisan depan, dengan bunga putih lembut menjulang menyapa langit, berjajar bak pagar ayu di parade karnaval tujuh belas agustusan, namun lebar menganga dibagian tengah, ludes kosong melompong bagai diterjang Badai Katrina. Kamilah pelakunya, bocah -- bocah kurang camilan dan kurang adab. Tanpa  merasa bersalah setiap pulang sekolah menyantapi tebu sebagai penambah daya tahan tubuh pengganti gula pasir di rumah.
Bila musim penghujan dan bahu sungai penuh pasir ladhu tiba, bukan hanya aku yang menyimpan rindu, Â melainkan anak beranak dusun yang tak sabar bermain perang perangan digumuk kali, dengan lakon saur sepuh membahana yang terkadang kisahnya terdistorsi dengan Tutur Tinular, dengan mahkota daun nangka yang menjulang tak simetris tersemai di kepala dan anggukan pemimpin permainan setiap kali adegan.
Peranku, tak pernah berganti sepanjang musim.... menjadi Empu Bajul yang bengis dan jahatnya minta ampun. Hanya karena badanku kecil dan pendek, dengan suara teriakan mirip beruk bila tertimpa buah kelapa. Padahal aku merasa wajahku masih ada sedikit manis manisnya, namun itu tak menolong sedikitpun.
Suatu kali aku memohon dan merengek pada Mas Heri pimpinan perang perangan, Â untuk memberiku peran yang lebih bermartabat dari seorang pencoleng bandit sableng, namun selalu ditolak dengan dalih tak ingin kehilangan marwah adegan film. Sungguh.... usahaku sia sia.
Dengan tongkat pemandu kejahatan, biasa ku libas pasukan Kerajaan Madangkara.... sampai kocar kacir, terkentut-kentut tunggang langgang lari tercebur sungai.Â
Namun jangan ditanya bila Brama Kumbara dan Mantili tiba, Â Empu Bajul berubah menjadi kutu kupret yang harus rela menjadi bahan amuk massa. Dipenuhi ketidakberdayaan dan penderitaan yang tiada terperi. Tubuh kecil Bajul digulung gulung diatas pasir ladhu ditendang dan dilukai dengan pedang setan.
Kali ini ku lobby mas Heri