Mohon tunggu...
Arip Rip
Arip Rip Mohon Tunggu... Lainnya - keep calm you have self confidence

Lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara dan saat ini bertugas sebagai ASN pada salah satu Biro Hukum Sekretariat Kementerian Koordinator. Berdomisili di area Bogor serta menyukai berbagai sajian kuliner nusantara, merupakan pencinta tempe gembus dan tahu bakso yang hobby menulis, traveling dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Dalam Lipatan Payung

15 Maret 2018   17:44 Diperbarui: 15 Maret 2018   17:51 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta Dalam Lipatan Payung

     Langit berawan sepanjang malam,  dini harinya buliran air menjarah banyak waktu pekerja komuter Bogor-Jakarta. Bagi kami yang mencari sesuap nasi di Ibu Kota, hujan pagi hari adalah bahasa lain yang perlu dikompromikan dengan perasaan khawatir terlambat absen kerja dan sabar yang melintang lurus memunggungi jatuhnya luapan air dari atap Stasiun Gondangdia, seraya berharap rintik air reda secepat mungkin.

     Berjalan menuruni anak tangga, kuraih tangan wanita yang berdiri disampingku. Sambil merapikan payung yang terlipat dalam genggaman, langkah kami berujung di bibir teras pintu masuk selatan.  Hujan pagi di hari valentine itu benar-benar tak menghiraukan perasaan banyak orang. I really am not a misery guts !

     Bergandengan tangan sepanjang waktu dan menemukan senyum istri yang selalu mengembang disisiku adalah hadiah  terindah untuk seorang dengan banyak kekurangan sepertiku, sejauh kaki berjalan dan selama hidup di bumi, aku merasa begitu diberkati. Seringai itu masih hangat aku rasakan sama seperti saat pertama kali melihatnya, di warung makan Bu Mayar Klaten, saat tak sengaja bertemu makan siang.  Lalu mendapati perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, nampaknya aku telah jatuh cinta.

     Ku katakan bila aku mencintainya, dua bulan setelah tak dapat berhenti memikirkannya. Aku tak ragu untuk menikahinya saat bunga Desember merekah sempurna, dua tahun sejak berkenalan dengan hubungan Long Distance Relationship.Kami  merasakan besarnya cinta dan keyakinan disaat yang bersamaan.

     Empat tahun berlalu, dengan perasaan yang tak berubah sedikitpun, terasa lengkap dengan kehadiran buah cinta yang sudah mulai mengerti bagaimana kesedihan seorang  Miguel yang sangat ingin menjadi musisi namun tak direstui keluarga besarnya dalam film Coco besutan Lee Unkrich, atau saat ia tertawa terkekeh melihat aksi Acin youtuber yang bertingkah lucu dan natural. She is my little fairy !

     Hanya dengan melihatnya duduk termangu saja, air mataku dapat meleleh, entahlah apa yang aku rasakan mungkin terlalu jujur untuk dinegasikan, aku merasakan kehangatan keluarga yang tak dapat dinilai dengan apapun saat bersama istri dan putri kecilku.

     Tersadar dari lamunan, segera kubuka tali pengait payung, istriku meraih dan membantuku mengembangkannya,  saling bertautan, jemari kami kompak membawa payung menerabas hujan keluar stasiun menuju bajaj yang kupastikan sulit dijumpai saat hujan mendera. Orang --orang lebih nyaman untuk menaiki bajaj tatkala hujan dibanding menggunakan jasa ojek motor.

     Benar saja, kami kesulitan menemukan kendaraan roda tiga yang menurut cerita konon katanya saat belok hanya Tuhan dan sang supir bajaj yang tahu. Ya...Muhammad, ini terdengar sulit dibayangkan, hehehe....

     Dibawah jembatan yang memanggul rel, kami berhenti, sesekali menyeringai dan tak membayangkan berapa lama lagi mendapatkan bajaj.  Payung kami terlalu kecil untuk digunakan berdua, sehingga setengah badanku basah. Aku tak ingin istriku terkena air lebih banyak dariku. Hehehe....

     Kami tak menawar hari kasih sayang dengan muka tertekuk kendati hujan. Ada yang jauh lebih penting, bahwa ini adalah momen indah yang tak setiap bulan kami dapati. Bergandengan tangan dibawah payung tak sepadan  di bulan Februari, dalam kabut dan hujan yang tak sedikitpun mengurangi senyuman.  Sesungguhnya kami tidak sedang berlindung dari air hujan, melainkan mencoba terjaga dari kekhawatiran mendapati satu diantara pegangan tangan kami terlepas hingga tak ada yang memegang payung....hahaha....

     Tetiba suara klakson yang terdengar khas menjerit di depan kami, supir bajaj langganan menghampiri dan tertawa terkekeh. Bergegas untuk duduk didalam, kendaraan yang kami tumpangi melesat  cepat ke arah Thamrin, sepuluh menit kemudian kami sudah berdiri di kantor. Matur suwun sanget buat Pak bajaj yang kami bahkan tak mengetahui siapa nama aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun